
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi kemanusiaan di Jalur Gaza. Dia menyebut bahwa banyak orang kelaparan di wilayah tersebut.
Pernyataan ini disampaikannya pada Jumat (16/5) waktu setempat, saat mengakhiri lawatan luar negeri pertamanya di masa jabatan keduanya, yang mencakup kunjungan ke sejumlah negara Teluk, meski tidak termasuk sekutu dekat AS, Israel.
Komentar Trump muncul di tengah laporan eskalasi serangan udara Israel yang telah menewaskan sedikitnya 56 warga Gaza sejak tengah malam. Badan pertahanan sipil setempat mengonfirmasi jumlah korban tewas tersebut, sementara petugas medis mencatat puluhan orang lainnya mengalami luka-luka.
"Kami sedang memperhatikan Gaza. Dan kami akan mengurusnya. Banyak orang yang kelaparan," kata Trump kepada awak media di Abu Dhabi seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (16/5).
Gencatan senjata dua bulan antara Israel dan Hamas runtuh pada Maret lalu, menyusul diberlakukannya kembali blokade total oleh Israel atas Gaza. Blokade tersebut, menurut lembaga bantuan internasional, telah menyebabkan krisis kelaparan akut.
Israel menghentikan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak 2 Maret, sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas untuk memberikan konsesi, termasuk pembebasan puluhan sandera warga Israel yang diculik dalam serangan Oktober 2023.
Hamas menegaskan bahwa pemulihan akses bantuan merupakan persyaratan minimum untuk melanjutkan negosiasi.
Kelompok tersebut juga mengecam rencana Trump yang mengisyaratkan kemungkinan pengambilalihan Gaza oleh pihak asing dan menjadikannya zona kebebasan.
“Gaza bukan untuk dijual,” tegas Hamas dalam pernyataannya.
Serangan terbaru memicu kepanikan besar, terutama di wilayah Gaza utara.
"Kami sedang tertidur ketika tiba-tiba semuanya meledak di sekitar kami,” kata Umm Mohammed al-Tatari, 57, kepada AFP.
“Semua orang mulai berlarian. Kami melihat kehancuran dengan mata kepala sendiri. Ada darah di mana-mana, potongan tubuh dan mayat. Kami tidak tahu siapa yang sudah mati dan siapa yang masih hidup," ujarnya.
Ahmed Nasr, warga lainnya berusia 33 tahun, menambahkan bahwa pengeboman terjadi sepanjang malam.
“Kami tidak bisa tidur atau menemukan kedamaian. Tidak ada rasa aman. Kami bisa mati kapan saja,” sebutnya.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa 2.876 orang telah tewas sejak Israel melanjutkan serangan pada 18 Maret, menjadikan total korban jiwa sejak perang dimulai mencapai lebih dari 53.000 orang.
Sementara itu, media Israel menyebut militer sedang meningkatkan intensitas serangan menyusul persetujuan pemerintah atas rencana merebut kembali wilayah Gaza. Pihak militer Israel mengonfirmasi bahwa mereka sedang menyelidiki laporan-laporan tersebut.
Reaksi Keluarga Sandera: Kesempatan Bersejarah Terbuang
Kelompok utama yang mewakili keluarga sandera, Forum Sandera dan Keluarga Hilang, mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena dinilai gagal memanfaatkan kunjungan Trump untuk membebaskan para sandera.
“Kehilangan kesempatan bersejarah ini akan menjadi kegagalan besar yang akan dikenang selamanya,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Namun, kelompok lain seperti Forum Tikva justru mendorong agar tekanan militer ditingkatkan.
"Tekanan militer harus jauh lebih kuat, dengan intensitas tinggi, dan dikoordinasikan dengan tekanan diplomatik, pengepungan total, pemutusan air dan listrik,” ujar mereka.
PBB memperkirakan sekitar 70% wilayah Gaza kini menjadi zona terlarang atau berada di bawah perintah evakuasi dari militer Israel.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa rumah sakit terakhir di Gaza yang menyediakan layanan perawatan kanker dan jantung telah berhenti beroperasi akibat serangan Israel pada Selasa lalu, yang membuat fasilitas tersebut rusak parah dan tidak dapat diakses.
Pelapor khusus PBB untuk wilayah Palestina, Francesca Albanese, mengecam tindakan Israel dan menyebutnya sebagai pembunuhan terhadap kemanusiaan yang tersisa.
Sementara itu, Hamas menegaskan bahwa akses terhadap bantuan kemanusiaan bukan hal yang bisa dinegosiasikan.
“Akses terhadap makanan, air, dan obat-obatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental -- bukan subjek yang dapat dinegosiasikan,” ujar pejabat senior Hamas, Basem Naim.
Yayasan Kemanusiaan Gaza, LSM yang berbasis di AS, menyatakan akan memulai distribusi bantuan di Gaza bulan ini setelah melakukan pembicaraan dengan otoritas Israel. Namun, PBB menyatakan tidak akan terlibat dalam inisiatif tersebut. (I-3)