
PERUNDINGAN Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) memasuki tahap akhir. Kepala Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai kesepakatan ini menjadi peluang strategis bagi Indonesia melakukan trade diversion atau pengalihan perdagangan di tengah dinamika kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS).
Sebelum ada IEU-CEPA, kata dia, Indonesia banyak mengekspor produk ke AS karena tarifnya kompetitif. Tapi ketika AS mulai mengenakan tarif tinggi, sambungnya, lalu Uni Eropa menawarkan bebas tarif lewat IEU-CEPA, Indonesia bisa mengalihkan ekspornya dari AS ke Uni Eropa.
“Ini merupakan kesempatan kita untuk melakukan trade diversion, dari pasar AS ke pasar Uni Eropa yang lebih potensial,” ujar Andri kepada Media Indonesia, Minggu (8/6).
Beberapa sektor yang diproyeksikan mendapat manfaat langsung dari perjanjian ini antara lain perikanan, serta tekstil dan produk tekstil (TPT). Menurut Andry, industri perikanan yang selama ini banyak mengekspor ke AS, dapat mengalihkan sebagian besar ekspornya ke Eropa seiring adanya penghapusan tarif sebesar 10–20% untuk produk seafood olahan.
Hal serupa juga berlaku pada produk tekstil dan pakaian jadi, yang akan mendapat keringanan tarif sekitar 10–17%. Ini dinilai akan meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama dalam menghadapi kompetitor utama seperti Vietnam.
"Kita harapkan dengan penyelesaian IEU CEPA bisa mendorong ekspansi ekspor industri-industri perikanan domestik olahan kita dan TPT ke Uni Eropa," imbuh Andry.
Tak hanya itu, sektor kelapa sawit dan produk turunannya juga diharapkan akan memperoleh kemudahan akses pasar ke Eropa melalui IEU-CEPA. Meski demikian, Andry mengingatkan penghapusan tarif, yang mencakup hingga 80% produk ekspor Indonesia, belum cukup untuk menjamin kelancaran perdagangan.
“Masih ada tantangan besar dari sisi hambatan non tarif, seperti technical barriers to trade (TBT) yang meliputi pelabelan, traceability, dan pemenuhan standar keberlanjutan,” jelasnya.
Dia menambahkan sertifikasi berstandar Uni Eropa kerap masih sulit dijangkau oleh pelaku industri dalam negeri, termasuk perusahaan menengah besar, karena biaya yang tinggi dan proses yang kompleks.
Andry juga menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap rules of origin atau ketentuan asal barang. Dia menilai pemerintah Indonesia perlu memastikan produk ekspor benar-benar dibuat di dalam negeri, bukan hanya dilabel ulang atau menjadi lokasi pemrosesan akhir dari negara lain seperti Tiongkok. Jangan sampai, katanya, Indonesia hanya menjadi negara transit.
"Produk kita harus benar-benar memenuhi protokol EU terkait asal-usul barang, termasuk sistem statement on origin dan registrasi eksportir,” tegasnya.
Dengan semakin dekatnya penyelesaian perundingan IEU-CEPA, Andry menekankan perlunya kesiapan menyeluruh dari pelaku industri nasional, termasuk mengantisipasi hambatan nontarif.
“Kalau kita tidak bisa mengantisipasi hambatan nontarif, penghapusan tarif pun bisa menjadi percuma,” tutupnya. (H-4)