Dari Jalanan ke Reshuffle Kabinet: Emosi Publik dan Pertarungan Kedaulatan Digital

3 hours ago 4
 Emosi Publik dan Pertarungan Kedaulatan Digital Jurnalis Metro TV Kennorton Hutasoit(dok pribadi)

Presiden Prabowo Subianto akhirnya merombak (reshuffle) kabinet pada Senin (8/9/2025) dengan mengganti lima menteri sekaligus. Perombakan ini terjadi hanya selisih sekitar satu pekan setelah gelombang demonstrasi dan aksi massa pada 25–31 Agustus yang mengguncang jalanan dan ruang digital.

Meskipun pemerintah membantah pergantian para pembantu presiden terkait gelombang aksi, langkah itu menjadi simbol pemerintah tidak membaca demonstrasi sekadar  protes jalanan, melainkan koreksi fundamental terhadap legitimasi kekuasaan.

Krisis kepercayaan publik terhadap elite politik, DPR, dan aparat keamanan telah membuat negara melakukan 'evaluasi politik' terhadap kabinet sebagai bagian dari upaya meredam tekanan legitimasi. 
Dalam reshuffle ini, Presiden Prabowo melantik Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani, Ferry Juliantono menjadi Menteri Koperasi menggantikan Budi Arie, Mukhtaruddin menjadi Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menggantikan Abdul Kadir Karding. Selain itu, Presiden Prabowo juga mencopot Budi Gunawan jabatan Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan dan Ario Bimo Nandito Ariotedjo atau yang dikenal Dito Ariotedjo dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga.

Presiden Prabowo juga melantik Mochamad Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Menteri dan Wakil Menteri Haji dan Umrah. Selain itu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga telah ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim.

Sebelumnya, pada Rabu (19/2), Presiden Prabowo juga melantik guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Brian Yuliarto sebagai Mendiktisaintek menggantikan Satryo Soemantri. 

Ledakan emosi

Demonstrasi akhir Agustus, sebagaimana dicatat Monash University Data & Democracy Research Hub dan Drone Emprit, adalah ledakan emosi publik yang terkonsolidasi di ruang digital. Monash menganalisis 13.780 unggahan original dari hampir 10 juta percakapan digital, sementara Drone Emprit mencatat 21.800 mentions dengan 7,56 miliar interaksi.

Keduanya menemukan bahwa kemarahan akibat tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis Brimob, menjadi titik balik yang antara lain memicu narasi #BubarkanDPR. Fenomena ini selaras dengan teori Affective Publics (Papacharissi, 2015), yang menegaskan publik digital terbentuk melalui emosi bersama yang menyebar secara viral.

Dalam kasus ini, kemarahan akibat ketidakadilan, duka atas korban, hingga optimisme lewat Gerakan 17+8 menjadi bensin yang menyulut aksi solidaritas digital. Hashtag menjadi simbol ikatan emosional yang melintasi batas kelas sosial dan geografis.

Temuan Monash dan Drone Emprit dapat dibaca dengan kerangka Connective Action Etnopolitik (Hutasoit, 2025) yang menegaskan ekspresi personal berbasis identitas baik identitas kelas, profesi, maupun pengalaman marjinal akan terkoneksi secara digital menjadi solidaritas kolektif.

Tragedi Affan Kurniawan, pada awalnya adalah narasi individual, tetapi segera menjelma simbol kolektif “rakyat korban aparat” karena setiap warganet mempersonalisasi kisah itu dengan kemarahan, duka, dan rasa ketidakadilan.

Monash mencatat 47,3% emosi publik adalah kemarahan, sedangkan Drone Emprit menunjukkan ledakan tagar #BubarkanDPR sebagai kanal ekspresi yang mengikat individu-individu dalam jaringan luas. Inilah mekanisme etnopolitik digital: identitas rakyat sebagai kelas pekerja dan masyarakat rentan dipertentangkan dengan elit dan aparat sebagai representasi negara.

Narasi ini bukan sekadar polarisasi spontan, tetapi proses connective action yang menyalurkan pengalaman personal menjadi solidaritas etnopolitik, membangun legitimasi alternatif di luar institusi formal negara.

Monash juga menemukan transisi dari kemarahan menuju joy dan trust ketika narasi bergeser ke Gerakan 17+8 (sebuah agenda tuntutan konkret mahasiswa yang menuntut tarik TNI dari sipil, investigasi independen korban dalam demonstrasi, bekukan tunjangan DPR, transparansi anggaran, sanksi kader partai, dialog publik, bebaskan demonstran, hentikan kekerasan polisi, proses hukum pelanggar HAM, upah layak, antisipasi PHK, dan dialog buruh). 
Drone Emprit menegaskan fenomena serupa, di mana ledakan solidaritas digital tidak hanya menolak, tetapi juga menawarkan jalan keluar berupa tuntutan sistemik.

Mengembalikan kepercayaan publik

Pada posisi legitimasi, dapat dimaknai berdasarkan teori hukum. Menurut Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, legitimasi institusi negara bersifat formal, bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi.

Dalam perspektif teori hukum ini, reshuffle adalah hak prerogatif presiden yang sah. Tetapi dalam perspektif digital sovereignty dan affective publics, langkah itu juga bagian dari strategi mengembalikan kepercayaan publik yang terkikis akibat demonstrasi.

Dengan mengganti wajah-wajah lama yang dianggap terkait dengan “elitisme” atau “ketidaksensitifan,” Prabowo berusaha membangun ulang legitimasi di mata rakyat. Namun, dari sisi legitimasi sosiologis, apakah rakyat masih mengakui otoritas lembaga itu.

Legitimasi baru

Berdasarkan perspektif Digital Sovereignty, jelas terlihat bagaimana kedaulatan wacana beralih dari institusi formal ke ruang digital. Negara tidak bisa mengendalikan narasi, sementara warganet menciptakan sovereign discourse mereka sendiri.

Kedaulatan simbolik tidak lagi monopoli DPR atau pemerintah, melainkan direbut oleh publik digital yang membentuk legitimasi baru melalui tagar dan percakapan daring. Ketika DPR dan aparat dipersepsikan sebagai sumber masalah, publik menarik kembali legitimasi mereka di ruang digital. Dengan kata lain, walaupun secara hukum DPR sah berdiri berdasarkan UUD 1945, di mata publik digital, legitimasi itu terkikis oleh perilaku elite yang tidak sejalan dengan prinsip rule of law dan keadilan sosial. Krisis legitimasi ini terlihat jelas ketika tuntutan “Bubarkan DPR” menjadi dominan. Menurut perspektif hukum, inilah benturan antara legal legitimacy (berbasis aturan) dengan social legitimacy (berbasis pengakuan rakyat) yang mendorong perombakan kabinet menjadi langkah tak terhindarkan.

Empat langkah

Reshuffle kabinet, pencabutan tunjangan DPR, serta komitmen menindaklanjuti tuntutan 17+8 adalah sinyal negara mencoba memulihkan legitimasi. Namun, empat langkah krusial tetap dibutuhkan agar kebijakan tidak berhenti sebagai respons sesaat.

Pertama, konsistensi dalam memenuhi tuntutan 17+8, dengan peta jalan transparan dan terukur. Kedua, membuka kanal dialog publik yang partisipatif, aman, dan akuntabel. Ketiga, menjaga kesederhanaan dan perilaku elite politik, agar gestur kebijakan selaras dengan empati rakyat. Keempat, menjadikan demonstrasi sebagai mekanisme koreksi, bukan ancaman negara, sehingga protes dipahami sebagai bagian sehat dari demokrasi. 
 

Pertarungan legitimasi

Monash memberi kerangka akademis, Drone Emprit menyajikan data real-time. Keduanya menunjukkan bahwa ruang digital kini menjadi medan utama pertarungan legitimasi di Indonesia. Perombakan kabinet adalah respons politik yang sah secara hukum, tetapi lebih jauh merupakan refleksi dari tekanan sosial yang membentuk legitimasi baru di era digital.

Jika pemerintah konsisten menindaklanjuti tuntutan rakyat, maka reshuffle ini bisa menjadi titik balik menuju rekonsiliasi sosial. Jika tidak, gelombang protes akan kembali, bahkan lebih besar, karena publik digital telah belajar bahwa suara mereka kini berdaulat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |