Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Tiza Mafira(Despian Nurhidayat/MI)
CLIMATE Policy Initiative (CPI) meluncurkan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia Periode 2019-2023. Dalam kesempatan tersebut, CPI menyampaikan bahwa pembiayaan atau investasi di ketenagalistrikan Indonesia masih didominasi di sektor bahan bakar fosil.
“Kami menemukan dari total pendanaan investasi di sektor ketenagalistrikan sebagian besar masih untuk bahan bakar fosil atau 62 persen. Ada juga 28 persen yang mungkin mengalir ke bahan bakar fosil tapi tidak tercatat secara jelas. Hal ini karena PLTU ada tapi tidak tercatat. Kemudian EBT 34 persen dan 9 persen multipurpose,” ungkap Direktur Climate Policy Initiative (CPI), Tiza Mafira dalam acara Peluncuran Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia Periode 2019-2023 di Jakarta, Jumat (31/10).
Lebih lanjut, dari data ini terlihat ada kebutuhan untuk peningkatan transparansi data dan kualitas data. Karena ada cukup besar data yang bisa jadi terselubung dan lebih besar lagi investasi ke bahan bakar fosil.
Tiza menambahkan, tren investasi EBT menunjukkan pertumbuhan. Investasi terbesar terjadi pada 2019 karena adanya pembangunan PLTA dan geothermal. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang mengatur tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga dikatakan cukup memberikan dampak peningkatan PLTS dan PLTA.
“Dalam perpres ini ada mekanisme harga patokan sesuai teknologi dan daerah. Ini menimbulkan kepercayaan untuk berinvestasi di variabel EBT. Tapi sekarang lebih besar investasi ke baseload EBT,” ucap Tiza.
Menurutnya, pada tahun ini PLN juga telah menerbitkan RUPTS yang ambisinya besar ke arah surya panel dengan target 17 giga watt di 2032. Namun demikian, kondisi sekarang menunjukkan bahwa capaiannya masih kurang dari 1 giga watt.
“Jadi masih banyak yang harus diperbaiki untuk mencapai hal tersebut,” tuturnya.
Pembiayaan swasta, ujar Tiza, dikatakan masih mendominasi investasi sektor ketenagalistrikan. Kebanyakan investasi dilakukan oleh pihak swasta internasional dan sedikit swasta domestik. Tren investasi di Bank Himbara juga trennya masuk ke sektor EBT.
Investasi asing paling banyak, sambung dia, berasal dari Tiongkok, multilateral DFI atau lembaga keuangan pembangunan multilateral seperti World Bank, Korea Selatan, Jepang, dan paling rendah adalah Amerika Serikat.
“Padahal Tiongkok dan Korea Selatan mengatakan akan berhenti investasi di bahan bakar fosil. Tapi ternyata di Indonesia investasi mereka masih mendominasi bahan bakar fosil,” tegas Tiza. (H-4)


















































