
PAKAR komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo menilai menteri atau pejabat pemerintah harus menjaga etika dan komunikasi di hadapan publik.
Ia menilai setiap menteri memang punya gaya komunikasi yang berbeda, dipengaruhi oleh latar belakang dan karakter. Pun jika kurang terkontrol, gaya komunikasi yang kurang hati-hati bisa menimbulkan persepsi negatif dan berpotensi mempengaruhi citra pemerintahan.
"Pejabat publik adalah representasi pemerintah. Jika komunikasinya memicu polemik, dampaknya bisa luas, yakni kebingungan publik, polarisasi opini, dan melemahnya legitimasi pemerintah," kata Suko melalui keterangannya, Rabu (10/9).
Suko menyatakan komunikasi publik yang buruk berdampak pada meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat pemerintah. Dampak dominonya ialah efektivitas kebijakan pemerintah bakal terganggu.
Maka dari itu, ia menekankan bahwa komunikasi publik harus dikelola secara cermat untuk membangun dialog konstruktif dan memperkuat kepercayaan. Prinsip utama dalam komunikasi publik yang etis itu meliputi kejujuran, kejelasan, sensivitas, serta pengendalian emosi.
"Ihwal mendasar terutama pada gaya yang umum saja tidak over dan dengan bahasa yang dapat dipahami publik. Maka memang dalam pernyataan-pernyataannya seorang pejabat publik harus berhati-hati agar tak menimbulkan kontroversi," katanya.
Sebelumnya, Purbaya Yudhi Sadewa yang baru dilantik sebagai Menteri Keuangan mengaku kaget soal ucapannya soal 17+8 menuai sorotan. Ia bahkan menyebut dirinya masih “menteri kagetan”. Ia kemudian meminta maaf atas ucapannya itu dan mengaku akan belajar dari pengalaman tersebut.
“Saya masih pejabat baru di sini. Menterinya juga menteri kagetan. Jadi, kalau ngomong katanya, kalau kata Ibu Sri Mulyani kayak koboi. Waktu di LPS sih enggak ada yang monitor, jadi saya tenang. Ternyata di (Kementerian) Keuangan beda, Ibu. Salah ngomong langsung dipelintir sana-sini. Jadi, kemarin kalau ada kesalahan, saya mohon maaf,” ujarnya, Selasa (9/9). (Faj/P-2)