 Silvofishery sebuah konsep yang menggabungkan budidaya perikanan dan konservasi mangrove.(MI/Lilik Dharmawan)
                                Silvofishery sebuah konsep yang menggabungkan budidaya perikanan dan konservasi mangrove.(MI/Lilik Dharmawan)
                            
PERAHU kecil itu terlihat dipacu melewati lorong-lorong hutan mangrove yang lebarnya hanya 1,5 hingga 2 meter di kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) pada pertengahan Oktober lalu. Tusiman, 53, yang membawa perahu itu mengeluhkan semakin sulitnya mencari kepiting di kawasan hutan bakau.
Dia masih ingat sekitar 20-30 tahun lalu, kawasan Segara Anakan dengan rimbunnya pepohonan mangrove menjadi surga bagi para nelayan. Ibarat lagu Koes Plus, kail dan jala cukup menghidupmu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu.
“Benar, dulu sangat melimpah. Dalam sehari, saya bisa membawa pulang 20 kilogram (kg) kepiting bakau. Tidak perlu jauh-jauh mencarinya, cukup di sekitar Segara Anakan yang tidak jauh dari dusun kami di Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kampung Laut,” jelas Tusiman pada pertengahan Oktober lalu.
Namun kini, laut yang dulu begitu murah hati mulai enggan memberi. Pada hari-hari biasa, ia hanya mendapatkan satu hingga dua ekor kepiting, itu pun tidak setiap hari. Kadang mereka pulang dengan ember kosong karena kepiting hanya bisa ditangkap ketika air pasang. “Kalau panen, paling 1-2 kg. Sudah jauh berbeda dengan tahun 2000-an,” ungkapnya.
Tusiman menghela napas panjang sambil memandang kawasan mangrove yang terlihat rusak. Ia meyakini lingkunganlah yang mengubah nasib nelayan di Kampung Laut. Hutan mangrove rusak, salah satunya akibat sedimentasi yang membawa lumpur.
Nelayan lainnya, Suwarno, 55, adalah mantan pengepul kepiting bakau. Ia menjadi saksi masa kejayaan kepiting bakau di Kampung Laut. “Waktu itu, saya bisa menerima 5 sampai 7 kuintal per hari dari para nelayan,” tuturnya.
Kini pemandangan itu tinggal cerita. Hasil tangkapan merosot tajam. Nelayan yang dulu khusus menangkap kepiting kini mengalihkan target mereka ke ikan atau udang. “Apa saja yang bisa ditangkap, ya ditangkap,” ujarnya.
Tokoh masyarakat Kampung Laut, Wahyono, menyaksikan perubahan itu dari waktu ke waktu. Ia muda ketika mulainya kerusakan ekosistem terlihat jelas, terutama sejak sedimentasi dari Sungai Citanduy dan Cimeneng terus mengalir menuju Segara Anakan. Pendangkalan terjadi cepat, dan mangrove pun hilang. “Segara Anakan berubah dan hasil tangkapan ikut terpengaruh,” kata Wahyono.
Ia ingat benar bagaimana daerah yang dulu merupakan habitat kepiting kini berubah menjadi daratan. Banyak nelayan tak lagi bisa bekerja di wilayah tangkap yang selama ini mereka kenal.
Pada awal 2000, Wahyono mulai menanam mangrove bersama warga. Namun semakin lama ia menyadari bahwa upaya rehabilitasi lingkungan memerlukan dukungan ekonomi bagi masyarakat yang menjaga dan menggantungkan hidup pada ekosistem itu. “Tidak cukup hanya menanam mangrove. Masyarakat juga harus sejahtera,” katanya.
SILVOFISHERY
Dari situlah muncul ide untuk mengembangkan silvofishery, sebuah konsep yang menggabungkan budidaya perikanan dan konservasi mangrove. Baginya, budidaya tidak boleh menjadi ancaman baru bagi hutan yang tengah diperjuangkan untuk dipulihkan.
Menurut Wahyono, 65% kawasan digunakan untuk rehabilitasi mangrove, 35% untuk tambak. “Kalau dua hektare, berarti 1,3 hektare mangrove di tengah, tambaknya di pinggir,” kata dia.
Dengan cara ini, akar-akar mangrove tetap terjaga dan menciptakan ekosistem alami untuk kepiting tumbuh. Ia belajar dari sejarah pahit. Pernah ada tambak udang sebelum 2000 yang membuka lahan mangrove besar-besaran. Hasilnya hanya sesaat, hama menyerang, tambak bangkrut, mangrove rusak. “Tanpa mangrove, tidak ada ekosistem. Itu sudah terbukti,” tegas Wahyono.
Budidaya yang ia jalankan sangat tradisional. Tak ada pakan buatan, hanya ikan kecil sebagai makanan tambahan. Setelah berjalan setahun lebih, ia mulai panen rutin sekitar 30–50 kilogram per pekan. Hasil itu cukup membantu kehidupan keluarganya dan memberi semangat bagi warga sekitar untuk ikut mencoba.
Wahyono mengetahui bahwa budidaya yang dilakukan masih sebatas pembesaran, karena pembenihan masih sulit. Biasanya dari telur hanya beberapa yang hidup. Namun, ia tidak menyerah dan terus mencoba, dan kini mulai membuahkan hasil.
Harga kepiting bakau di pasar cukup menjanjikan. Ukuran 2–2,5 ons dihargai Rp110 ribu per ekor, sedangkan ukuran besar 3–5 ons bisa mencapai Rp140 ribu per kg. Pada hari-hari besar, terutama Imlek, harga melonjak hingga Rp300 ribu.
Selain kepiting, ikan bandeng juga dibesarkan untuk menambah pendapatan. “Kami harus siap dengan banyak pilihan. Yang penting tetap menjaga mangrove,” kata Wahyono.
Kini, meski alam tidak memberikan hasil seperti dulu, para nelayan memilih untuk tidak menyerah. Mereka berubah, berinovasi, belajar hidup berdampingan dengan mangrove yang tengah dipulihkan. Ada harapan yang tumbuh dari akar-akar bakau yang kembali menghijau. “Kami ingin tetap hidup dari laut, tapi laut juga harus hidup,” ucap Wahyono.
Walaupun alam berubah, tapi selalu punya cara untuk bertahan dengan memperbaiki lingkungan. Segara Anakan mungkin tak akan kembali seperti dua puluh tahun lalu, tetapi ada budidaya yang dikembangkan secara berkelanjutan.
GERAKAN KONSERVASI
Tak hanya di Kampung Laut, pesisir Cilacap lainnya, yakni di Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah, yang secara geografis terpisah dari daratan Kota Cilacap, juga menghadapi masalah yang sama.
Tokoh nelayan yang menginisiasi Kelompok Nelayan Sembir Kutawaru, Suradi, mengungkapkan sekitar 30 tahun lalu kawasan Kutawaru rusak kondisinya. “Waktu itu, udaranya begitu panas. Daratan makin maju ke arah laut karena ada lumpur sedimentasi, sehingga makin memudahkan penebangan kayu-kayu bakau,” jelasnya.
Sedimentasi menjadikan perairan dangkal dan memicu orang menebang mangrove karena mudah. Akibatnya, pesisir menjadi gersang, udara panas menyengat, dan ikan-ikan menjauh. “Jelas kami yang paling terkena dampak. Hasil tangkapan jauh menurun karena tidak ada tempat untuk berkembang biak ikan, udang, dan kepiting. Karena semuanya merasa ada yang salah, maka kami mulai bergerak. Saya mulai mengajak menanami mangrove, seberapapun jumlah bibitnya,” ujarnya.
Tak hanya orang dewasa, para siswa SD dan SMP juga dilibatkan. Mereka menanam sambil belajar mencintai laut dan kampungnya sendiri. Dari tahun ke tahun, bibit itu tumbuh menjadi hutan kecil yang meneduhkan, mengurangi kegersangan. “Hutan mangrove sudah tumbuh baik, sehingga mulai bisa mengembalikan ekosistem,” kata dia.
Mangrove yang tumbuh bukan hanya mengembalikan ekosistem, tetapi juga rezeki. Ikan dan kepiting kembali bermukim di akar-akar yang dulu ditebang. Suradi menunjukkan empang-empang milik warga. Kini lebih dari 30 orang telah menjadi petambak. “Ikan bandeng ada, tapi di sini kerapu lebih bagus. Waktu hari raya bisa sampai Rp75 ribu per kg,” katanya.
Warga yang sempat ikut menebangi tanaman mangrove kini berbalik ikut serta dalam gerakan konservasi. Mereka akhirnya dapat memahami jika mangrove bagus, hasil tangkapan juga baik. Bahkan kini warga juga bisa membuat empang yang dikelilingi mangrove.
Masih di Kutawaru, ada kelompok nelayan lainnya yang mempunyai jejak serupa, yakni Kelompok Sida Asih. Didirikan pada 2016, kelompok ini berawal dari sembilan orang yang kini berkembang menjadi 32 anggota, 15 laki-laki dan 17 perempuan.
Ketua kelompok, Naswan, meneruskan perjuangan ayahnya, Kartosarian, yang pada awal 2000-an menanam mangrove di lahan dua hektare tanpa imbalan. “Bapak saya menanam tanpa ada yang suruh, karena tanah ini dulu gundul. Beliau ingin menjaga agar daratan tidak mengalami abrasi,” kenang Naswan.
Mereka tak hanya menanam pohon, tapi juga menanam ekonomi baru. Melalui konsep silvofishery, warga menggabungkan budidaya ikan, udang, dan kepiting dengan pelestarian mangrove. “Kami membudidayakan kakap merah, kerapu, nila, sampai udang windu dan kepiting. Ibu-ibu di sini juga mengolah buah mangrove jadi tepung, sirup, kue, dan camilan,” tutur Naswan.
EKOSISTEM PENTING
Pakar mangrove dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Erwin Aryanto Adli, menegaskan hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Di kawasan Segara Anakan, Cilacap, keberadaan mangrove tidak hanya menjadi benteng alami terhadap abrasi dan intrusi air laut, tetapi juga menjadi sumber kehidupan bagi berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting yang bernilai ekonomi tinggi.
Ia menjelaskan bahwa ekosistem hutan mangrove termasuk salah satu ekosistem dengan tingkat produktivitas tertinggi di antara ekosistem lainnya. Hal ini disebabkan oleh tingginya proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di kawasan mangrove.
“Dekomposisi bahan organik di hutan mangrove menghasilkan serasah yang menjadi sumber makanan utama bagi berbagai organisme akuatik. Inilah yang menjadikan mangrove sebagai elemen ekologis yang sangat krusial dalam rantai kehidupan di wilayah pesisir,” jelas Erwin.
Menurutnya, serasah dari daun dan ranting mangrove yang membusuk di dasar perairan akan menjadi nutrisi penting bagi plankton dan organisme mikroskopis lainnya. Proses alami ini kemudian mendukung produktivitas ikan, udang, dan kepiting yang banyak hidup di kawasan estuari atau muara sungai.
“Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung pada jumlah serasah yang dihasilkan hutan mangrove. Semakin sehat hutan mangrove, semakin tinggi pula produktivitas perairan di sekitarnya,” katanya.
Erwin menilai restorasi mangrove menjadi langkah paling strategis dalam memulihkan kembali keseimbangan ekologis di Segara Anakan. Restorasi, katanya, bukan sekadar menanam kembali pohon mangrove, tetapi juga memastikan seluruh komponen ekosistem mulai dari vegetasi, fauna, hingga kondisi lingkungan dapat berfungsi.
“Restorasi mangrove adalah proses mengembalikan ekosistem dari kondisi rusak menjadi sehat dan produktif kembali. Tujuannya bukan hanya menambah tutupan vegetasi, tetapi juga memulihkan fungsi ekologis dan sosial ekonomi masyarakat pesisir,” tambahnya.
Hutan mangrove dikenal sebagai salah satu ekosistem blue carbon paling efektif dalam menyerap dan menyimpan CO2 dari atmosfer. Karbon yang diserap tersebut disimpan dalam bentuk biomassa maupun stok karbon di tanah. Sejumlah penelitian menunjukkan kandungan karbon di ekosistem mangrove bisa mencapai tiga hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis daratan. Ini merupakan langkah penting menghadapi perubahan iklim.
Wilayah pesisir yang ditumbuhi tanaman bakau umumnya memiliki lapisan lumpur tebal dan kaya bahan organik. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan anaerob, yaitu kondisi minim oksigen yang memperlambat proses penguraian materi organik.
Akibatnya, bahan organik yang terperangkap di dalam lumpur tidak cepat terurai dan justru tersimpan dalam jangka waktu lama. Inilah yang menjadikan hutan mangrove berperan penting sebagai penyimpan karbon alami atau disebut natural carbon sink.
KAPTEN KAPAL
Kepala Dinas Perikanan Cilacap, Indarto, sangat mengapresiasi apa yang sudah diinisiasi nelayan dan warga pesisir. Dinas juga mendorong sektor perikanan untuk pertumbuhan ekonomi Cilacap karena garis pantainya yang begitu panjang. Pemkab memiliki inovasi baru yang disebut Kawasan Perikanan Terpadu (Kapten Kapal) Cilacap.
“Program ini telah diluncurkan akhir September lalu. Ide pembentukan kawasan ini berangkat dari kondisi produktivitas perikanan yang dinilai masih belum optimal. Meskipun produksi meningkat setiap tahun, hasilnya masih bisa dimaksimalkan agar memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat pesisir,” kata Indarto.
Menurutnya, salah satu tantangan utama adalah rendahnya daya saing produk perikanan lokal. Secara kuantitas, hasil tangkapan dan budidaya ikan sudah cukup besar, namun kualitasnya masih perlu ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar yang lebih luas. “Produk perikanan Cilacap jumlahnya banyak, tapi dari sisi kualitas dan nilai tambah masih tertinggal. Karena itu, perlu dibangun kawasan perikanan terpadu agar semua aspek, dari hulu ke hilir, bisa dikelola secara terintegrasi,” jelasnya.
Kapten Kapal Cilacap dirancang sebagai pusat pengelolaan perikanan terpadu berbasis ekonomi biru dengan prinsip keberlanjutan dan pemberdayaan potensi lokal. “Program ini akan menjadi model pengembangan perikanan yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga pada konservasi lingkungan dan kesejahteraan nelayan. Sebagai tahap awal, kawasan perikanan terpadu akan dibangun di Kecamatan Nusawungu dengan dukungan daerah penyangga di Kecamatan Binangun,” jelasnya.
Ia mengharapkan melalui integrasi antara produksi, pengolahan, dan distribusi hasil perikanan akan menjadi pusat ekonomi baru berbasis sumber daya laut. “Kami ingin kawasan ini menjadi contoh nyata penerapan ekonomi biru di tingkat daerah, mengelola laut secara berkelanjutan, meningkatkan pendapatan nelayan, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan,” tambahnya. (E-2)

 7 hours ago
                                2
                        7 hours ago
                                2
                    
















































