 Ilustrasi.(Freepik)
                                Ilustrasi.(Freepik)
                            SETIAP 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berikrar untuk bersatu: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi tonggak kesadaran kolektif, bahwa kemerdekaan hanya dapat diraih melalui persatuan. Tanpa kesatuan, perjuangan melawan penjajahan yang mengandalkan politik adu domba (devide at impera) akan sia-sia.
Hampir seabad kemudian, generasi muda Indonesia menghadapi bentuk perjuangan berbeda. Jika dulu ancamannya berupa penjajahan fisik dan fragmentasi wilayah, kini bentuknya jauh lebih halus: disinformasi digital, krisis nilai kemanusiaan, dan dominasi algoritma global.
Terlebih kini, kita tengah beranjak ke era 5.0, atau Society 5.0. Sebuah konsep yang diperkenalkan Jepang yang menempatkan manusia kembali sebagai pusat kemajuan teknologi. Masa dimana kemajuan teknologi dan informasi tumbuh sangat cepat. Di satu sisi, ia menandakan kemajuan hebat dengan kecepatan informasi dan kemajuan teknologi di berbagai bidang kehidupan. Tetapi, di sisi lain ia dapat menjadi petaka bagi manusia jika tidak diikuti kematangan mental.
Di tengah perubahan besar itu, media penyiaran Indonesia memegang peran strategis sebagai penjaga persatuan, sumber informasi dan literasi publik, dan benteng terakhir kepercayaan masyarakat. Jika dulu para pemuda bersatu mengusir penjajah, kini generasi muda harus bersatu untuk menjaga kedaulatan digital dan informasi bangsa. Dalam konteks inilah, semangat Sumpah Pemuda 5.0 menjadi relevan, yakni semangat mempersatukan bangsa melalui kesadaran digital, literasi informasi, dan etika bermedia.
Penyiaran dan kedaulatan informasi
Penyiaran berperan penting sebagai penjaga moral dan ideologi bangsa di tengah tren kenaikan informasi digital. Televisi dan radio nasional baik itu Lembaga Penyiaran Publik (LPP) maupun Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), sesungguhnya berperan tidak sekadar menyampaikan berita dan informasi tetapi juga menanamkan nilai kebangsaan, toleransi, serta wawasan Nusantara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan tujuan penyiaran: "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia." Amanat ini bukan sekadar rumusan normatif, melainkan refleksi dari fungsi penyiaran sebagai penjaga kedaulatan nasional.
Laporan hasil Survei Reuters Institute dan Oxford pada 2024 mencatat televisi menjadi media paling dipercaya publik di Indonesia dengan tingkat kepercayaan mencapai 61%. Artinya, media penyiaran masih dianggap paling kredibel sebagai rujukan di tengah banjir informasi digital.
Bahkan, menurut data BPS di 2025, tingkat penonton televisi di 10 provinsi terbesar Indonesia masih bertahan di angka 70%. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial tumbuh pesat, televisi tetap menjadi arus utama informasi dan hiburan masyarakat. Meskipun, memang adanya tren penurunan jumlah dan durasi waktu menonton televisi dan naiknya jumlah aksesibilitas masyarakat terhadap media sosial dan platform digital sebagai rujukan informasi maupun hiburan.
Media digital dan tantangan kredibilitas
Kita tak bisa menutup mata terhadap ledakan pengguna media sosial. Berdasarkan data DataReportal-Global Digital Insights (April 2025), terdapat 5,31 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia atau 64,7% dari populasi global.
Di Indonesia, pengguna aktif media sosial mencapai 143 juta jiwa atau sekitar 50,2% dari total populasi nasional. Mereka tersebar di berbagai platform populer: YouTube (143 juta), Facebook (122 juta), TikTok (108 juta), Instagram (103 juta), LinkedIn (33 juta), Messenger (25,6 juta), X/Twitter (25,2 juta), dan Snapchat (1,69 juta).
Media sosial memang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat global. Namun, di balik kemudahan akses dan kecepatan informasi, terdapat persoalan besar: disinformasi, polarisasi sosial, dan menurunnya literasi publik.
Berbeda dengan media sosial yang cenderung menampilkan informasi tanpa penyuntingan, media penyiaran memiliki mekanisme tanggung jawab editorial dan kode etik jurnalistik jelas. Inilah yang menjadikan penyiaran tetap relevan dan penting bagi demokrasi serta persatuan dan kesatuan bangsa.
Penyiaran sebagai perekat persatuan
Dalam sejarah bangsa, penyiaran kerap menjadi alat perekat di masa-masa krisis dari siaran perjuangan radio di masa revolusi-siaran proklamasi kemerdekaan, hingga siaran televisi nasional yang menyatukan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Kini, peran itu tidak boleh pudar di tengah perubahan ekosistem digital.
Media penyiaran memiliki tanggung jawab ganda: menjadi penjaga keutuhan bangsa sekaligus agen literasi di era digital. Di satu sisi, ia harus beradaptasi dengan teknologi baru seperti penyiaran digital, streaming, dan integrasi konten daring (convergence of content).
Di sisi lain, ia harus menjaga substansi: menghadirkan konten edukatif, berimbang, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Digital bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menegaskan pentingnya literasi media di era penyiaran digital. KPI menyebut, penyiaran harus menjadi ruang integrasi nasional terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) agar masyarakat tidak tertinggal dalam arus digitalisasi informasi.
Meneguhkan ikrar persatuan
Di tengah derasnya arus media sosial, media penyiaran menjadi benteng terakhir dari degradasi nilai dan disinformasi. Televisi dan radio memiliki fungsi ideologis bukan sekadar teknologis: meneguhkan kembali nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam konteks abad ke-21. Jika semangat 1928 menegaskan Persatuan dalam Satu Bahasa dan Satu Bangsa, maka semangat 2025 harus menegaskan persatuan dalam satu kesadaran digital dan satu komitmen kebangsaan.
Kita bisa membayangkan tiga ikrar baru dalam semangat Sumpah Pemuda 5.0: Pemuda Indonesia berikrar menjaga ideologi nasional dan kedaulatan digital sesuai Pancasila dan UUD 1945. Berkomitmen menggunakan teknologi dan inovasi untuk kemajuan bangsa bukan untuk polarisasi. Bersatu dalam keberagaman, memperkuat literasi, dan membangun ekosistem media yang sehat serta inklusif.
Di tengah derasnya arus informasi global, media penyiaran menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan bangsa. Ia menjaga kontinuitas nilai-nilai nasional di tengah turbulensi digital yang serba cepat dan tanpa batas. Sebagaimana pemuda 1928 menyatukan lidah, darah, dan tanah air, generasi muda hari ini harus menyatukan data, narasi, dan kesadaran digital.
Di era Sumpah Pemuda 5.0, persatuan tidak lagi dibentuk oleh batas wilayah, tetapi oleh kesadaran kolektif untuk menjaga kedaulatan informasi dan nilai kemanusiaan. Sebab di tengah gemuruh dunia digital yang tanpa batas, penyiaran adalah jangkar kebangsaan, suara bangsa yang memanggil kembali semangat persatuan dan kesatuan.

 7 hours ago
                                4
                        7 hours ago
                                4
                    
















































