ilustrasi.(MI)
RAKYAT kecil dinilai sangat kesulitan untuk memiliki tanah. Kondisi sebaliknya, korporasi dan pemerintah lebih mudah mendapatkannya.
Hal itu diungkapkan anggota DPR RI Ahmad Irawan dalam Focus GREAT Discussion (FGD) Pertanahan yang diselenggarakan Great Institute Rabu (1/10). Ketimpangan kepemilikan tanah, menurut Ahmad, disebabkan karena peraturan dan distribusi kepemilikan berantakan.
“Semua ini ekses dari hak negara untuk menguasai tanah. Peraturan dibuat sepihak, dan ATR/BPN pun tidak punya otoritas penuh. Ada tanah yang masih masuk kawasan hutan, padahal masyarakat sudah menempati jauh sebelum republik ini berdiri,” kata Ahmad.
Ia menekankan, ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri. “Kalau korporasi butuh tanah, pemerintah selalu memberi jalan. Tapi kalau rakyat, selalu serba sulit,” terangnya.
Lebih jauh, ia menegaskan, hingga 21 April 2025 capaian Reforma Agraria pemerintah masih nol. “Yang paling penting adalah kepastian hukum,” ujarnya.
Dia juga menegaskan soal pembentukan pansus Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) harus dibuat besar, yang melibatkan berbagai Komisi di DPR RI. Ahmad melihat BPRA dapat menyelesaikan tumpang tindih berbagai peraturan mengenai agraria. Ia meyakini bahwa BPRA dapat terimplementasi secepatnya.
Pada kesempatan sama, aktivis pertanahan Arwin Lubis menyampaikan gagasan strategis terkait rencana pembentukan BPRA. Ia mengingatkan, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan tanah bukan milik raja atau negara, melainkan rakyat. “Negara tidak bisa menjual tanah. Negara hanya boleh mengambil bea atas layanan keagrariaan,” katanya.
Ia mengusulkan agar BPRA dibentuk langsung di bawah Presiden dengan struktur ramping, tapi memiliki satu deputi khusus: Deputy Tafsir Tegas. Tujuannya, agar tak ada lagi tafsir ganda antara ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan lembaga lain yang membuat pelaksanaan reforma agraria berlarut-larut. “Kita sudah terlalu lama menunggu. Ada tanah-tanah eks HGU yang habis sejak puluhan tahun lalu, tapi distribusinya tak terdengar,” ujarnya.
Ketua Dewan Penasihat GREAT Institut Moh Jumhur Hidayat menyoroti soal ketimpangan kepemilikan tanah. Indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,78. “Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata Jumhur.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Bank Tanah bagian dari masalah, bukan solusi. Itu lahir dari UU Cipta Kerja, dan mencampuradukkan reforma agraria dengan urusan pengadaan tanah untuk korporasi besar.
Menurut Dewi, reforma agraria bukan sekadar redistribusi administratif, melainkan perubahan struktur kepemilikan tanah. Ia menyinggung program food estate sebagai politik pangan yang salah arah: timpang, penuh ketidakadilan.
“Padahal reforma agraria justru punya hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan, tanah tidak boleh jadi alat penindasan manusia terhadap manusia,” kata Dewi.
Agung Indrajit dari Otorita IKN kemudian memaparkan perspektif teknologi. Ia merujuk pada Land Administration Domain Model (LADM) sebagai pendekatan digital untuk mengurangi asimetri informasi dalam pertanahan. “Tanah tidak sekadar soal administrasi atau regulasi, tapi juga data yang harus transparan, interoperable, dan bisa mengurangi permainan informasi,” ujarnya. (Cah/P-3)


















































