
SEBAGAI salah satu kejahatan lintas negara, praktik judi online (judol) di Indonesia membutuhkan penanganan secara komprehensif dari lintas kementerian dan lembaga serta aparat penegak hukum. Selain polisi, PPATK, dan Komdigi, Bank Indonesia (BI) menjadi salah satu institusi yang diminta ketegasannya mengatasi transaksi judol.
Pasalnya, BI merupakan otoritas yang berwenang mengatur sistem keuangan di Indonesia. Pakar pencucian uang sekaligus mantan Kepala PPATK Yunus Husein mengingatkan, transaksi judol melibatkan perpindahan uang antarnegara atau remittance.
"Dari sistem keuangan, BI diminta juga lebih tegas, lebih turun tangan karena semuanya kan melalui item perbankan ataupun remittance yang diawasi oleh BI," kata Yunus kepada Media Indonesia, Rabu (7/5).
Kegiatan remittance, sambungnya, tak terlepas dari praktik judol. Ia menduga, perusahaan-perusahaan cangkang yang digunakan untuk pencucian uang hasil judol di Indonesia juga tak terlepas dari kegiatan tersebut.
"Kalau enggak pakai sistem pembayaran, akan susah judi online itu. Namanya saja judi online, bukan offline. Jadi BI sebagai otoritas pembayaran kalau bisa ya lebih aktif lagi mengatur, mengawasi lebih tegas," jelasnya.
Yunus mengakui, pemberantasan judol di dalam negeri sulit dilakukan tanpa adanya perjanjian hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA) dari negara yang mengendalikan judol. Perjanjian itu diperlukan bagi Indonesia agar aparat penegak hukum dapat mencari barang bukti tindak pidana judol.
Masalahnya, ia sangsi jika negara yang menghalalkan judol mau menjalin MLA dengan Indonesia. Sebab, negara tersebut juga mendapatkan keuntungan secara perekonomian dari bisnis judol.
"Jadi di sana legal, di sini ilegal, dibawa kemari pun uangnya enggak bisa pakai pasal TPPU (tindak pidana pencucian uang)," jelas Yunus. (Tri/M-3)