
RAPAT panitia kerja (panja) Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang digelar di hotel mewah di Jakarta menuai kritik. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengibaratkan langkah DPR tersebut sebagai maling yang masuk dan keluar rumah orang lewat jendela.
"Rapat di hotel mewah jelas untuk menghindari kritik publik yang substantif. Seperti maling yang diam-diam masuk dan kabur lewat jendela," ujarnya kepada Media Indonesia, Sabtu (15/3).
Diketahui, rapat pembahasan lanjutan RUU TNI di hotel mewah itu sudah dimulai sejak Jumat (14/3) kemarin dan berlanjut sampai hari ini. Bagi Julius, upaya DPR dan pemerintah untuk tetap melanjutkan pembahasan revisi tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Sebab, proses revisi itu menimbulkan banyak pelanggaran proses legislasi, sementara substansi yang direvisi dinilai janggal dan bertentangan dengan demokrasi. Sebagaimana diketahui, salah satu poin revisi menyasar Pasal 47 UU TNI yang memperluas cakupan kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.
"Sekian banyak kasus megakorupsi di TNI yang tidak diungkap bahkan tidak mau disidangkan di peradilan umum, tapi tidak juga mendengarkan masukan publik. Ini jelas pembangkangan yang mutlak," kata Julius.
Kegaduhan Publik
Terpisah, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat waktu dan tempat rapat panja RUU TNI sengaja dipilih Komis I DPR RI maupun pemerintah untuk menghindarkan mereka dari kegaduhan publik.
Tujuannya, untuk memuluskan sejumlah pasal yang bertujuan memperluas pelibatan TNI dalam pemerintahan lolos direvisi. Padahal, Lucius berpendapat bahwa perluasan wilayah kerja TNI di sektor sipil mengangkangi semangat mendorong TNI yang profesional.
"Bagaimana mau profesional kalau sebagian anggota TNI justru memimpikan jabatan sipil ketimbang mengasah kemampuan profesional mereka sebagai alat pertahanan negara?" tutupnya. (Tri/M-3)