
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (POJK UMKM). Aturan ini diharapkan mampu mengakselerasi penyaluran kredit dan pembiayaan kepada UMKM.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK Indah Iramadhini menyampaikan, melalui POJK tersebut, OJK mendorong perbankan dan Lembaga Keuangan Nonbank (LKNB) untuk memberikan pembiayaan yang mudah, tepat, cepat, dan inklusif, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
“Kami mengharapkan POJK ini bisa mendorong peningkatan penyaluran kredit kepada UMKM,” ujar Indah dalam media briefing di Kantor OJK, Jakarta, Jumat (19/9).
UMKM dinilai memegang peranan penting dalam ketahanan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data OJK, total pembiayaan UMKM dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK), baik bank maupun nonbank pada 2024 mencapai Rp1.876,3 triliun atau setara 8,48% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, outstanding penjaminan usaha produktif yang mayoritas mendukung UMKM tercatat sebesar Rp419,9 triliun, dengan kontribusi 72,80%. Dari sisi penyaluran, lanjut Indah, porsi pembiayaan UMKM oleh perbankan berkisar 19–21%, sementara oleh nonbank (PVML) mencapai 29–31%.
"Hal ini menunjukkan masih terdapat ruang peningkatan pembiayaan UMKM, dengan catatan tetap memperhatikan prinsip prudensial, perlindungan konsumen, tata kelola, serta manajemen risiko," tuturnya.
Karena itu, peran aktif direksi perbankan, dalam merumuskan strategi pembiayaan UMKM dan dewan komisaris dalam pengawasan implementasinya juga dianggap sangat penting.
Dalam POJK ini bank dan LKNB diwajibkan memberikan kemudahan akses pembiayaan melalui berbagai kebijakan, antara lain kebijakan khusus penyaluran pembiayaan, seperti penyederhanaan persyaratan atau kemudahan penilaian kelayakan UMKM.
Skema pembiayaan khusus sesuai karakteristik usaha, termasuk penerimaan jaminan berupa kekayaan intelektual dengan mempertimbangkan ekosistem dan metode penilaian yang memadai. Percepatan proses bisnis, misalnya melalui penggunaan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA). Penetapan biaya pembiayaan yang wajar bagi UMKM.
Tantangan lain, lanjut Indah, datang dari kualitas kredit. Kredit macet atau non-performing loan (NPL) UMKM dalam tiga tahun terakhir berada di kisaran 3–4%, dan per Juli 2025 sudah mencapai 4,7%. Kondisi ini mempertegas pentingnya pengelolaan risiko kredit yang memadai.
"POJK UMKM juga menekankan penerapan tata kelola dan manajemen risiko dalam pembiayaan UMKM. Setiap bank dan LKNB diwajibkan menyusun rencana penyaluran pembiayaan kepada UMKM serta menyampaikam realisasinya kepada OJK," kata Indah. (E-3)