(Dokpri)
FENOMENA dana fiskal yang mengendap di bank oleh pemerintah pusat dan daerah menjadi sorotan utama dalam pengelolaan keuangan publik Indonesia di 2025. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, bahwa triliunan rupiah dana fiskal yang sejatinya dialokasikan untuk pembangunan dan pelayanan publik justru tertahan di rekening perbankan tanpa diserap optimal. Hal ini, menjadi cermin kelemahan mendasar dalam manajemen fiskal yang berdampak negatif terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Secara konseptual, dana fiskal adalah instrumen kebijakan publik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbaiki infrastruktur, dan meningkatkan pelayanan sosial. Namun, data yang menunjukkan dana mengendap menandakan kegagalan pengelolaan keuangan yang efektif dan produktif. Selain itu, proses birokrasi yang berbelit dan koordinasi kurang efektif semakin memperburuk keterlambatan aliran dana ke sektor produktif.
Kasus di Jawa Barat menjadi contoh ilustratif persoalan ini. Pemprov Jawa Barat dikabarkan memiliki dana mengendap sekitar Rp4,1 triliun dalam bentuk deposito di bank seperti diungkap Menkeu Purbaya. Namun, klaim tersebut mendapat bantahan keras dari Gubernur Dedi Mulyadi yang menyatakan, bahwa dana sebesar Rp3,8 triliun merupakan dana di giro yang sudah digunakan untuk berbagai keperluan seperti pembayaran gaji, proyek, dan operasional lain.
Polemik ini memperlihatkan adanya ketidaksinkronan data antara pemerintah pusat, daerah, dan Bank Indonesia, dan menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.
Fenomena serupa terjadi di Sumatra Utara yang merupakan salah satu wilayah dengan dana mengendap signifikan. Meskipun mendapatkan alokasi fiskal cukup besar, dana di daerah ini belum terserap optimal, menyebabkan perlambatan pembangunan infrastruktur dan penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat rentan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi lokal terhambat dan ketimpangan sosial berpotensi semakin melebar.
Menggerogoti kepercayaan publik
Beberapa faktor fundamental menjadi penyebab pengendapan dana fiskal ini. Pertama, perencanaan anggaran yang kurang responsif terhadap kebutuhan aktual sehingga menimbulkan keterlambatan pencairan dan implementasi program.
Kedua, birokrasi dan prosedur pencairan dana yang rumit menyulitkan daerah memanfaatkan anggaran tepat waktu.
Ketiga, koordinasi pusat-daerah yang kurang sinergis membatasi optimalisasi penggunaan dana.
Keempat, kapasitas SDM di bidang manajemen keuangan publik belum memadai turut menjadi hambatan signifikan. Lebih jauh lagi, potensi praktik menahan dana untuk keuntungan bunga deposito menjadi risiko korupsi dan penyalahgunaan anggaran.
Dampak ekonomi makro dari pengendapan dana sangat serius. Terhambatnya pembangunan infrastruktur menjadi kendala utama dalam penguatan produktivitas dan investasi di daerah. Pelambatan ini membatasi penciptaan lapangan kerja dan meluasnya kesempatan ekonomi.
Penundaan penyaluran bantuan sosial melemahkan perlindungan bagi kelompok rentan dan memperparah ketimpangan sosial. Dana mengendap yang tidak produktif juga semakin menggerogoti kepercayaan publik terhadap integritas pengelolaan keuangan negara.
Fenomena ini dapat dianalisis sebagai bukti kebodohan manajerial atau kelicikan yang disengaja. Bila disebabkan oleh ketidaktahuan dan kapasitas teknis yang lemah, maka reformasi SDM dan birokrasi mutlak diperlukan, agar pengelolaan keuangan publik menjadi profesional dan akuntabel. Namun, apabila disinyalir ada niat untuk menunda penggunaan dana demi keuntungan tertentu, penguatan pengawasan dan penegakan hukum harus segera dilakukan.
Analisis berkala
Untuk itu, langkah strategis yang esensial harus diambil. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas melalui pelatihan intensif dan bimbingan teknis dalam manajemen keuangan daerah yang telah banyak diselenggarakan sepanjang 2025. Pelatihan ini mencakup pengelolaan keuangan berbasis aplikasi, penyusunan laporan keuangan, perencanaan anggaran berbasis kinerja, dan penanganan audit keuangan dengan standar akuntansi pemerintah yang berlaku.
Selain pelatihan, pemerintah dan pemda harus lebih disiplin membaca dan menganalisis laporan keuangan secara berkala, sehingga mereka paham benar kondisi keuangan yang sedang dihadapi dan dapat mengambil keputusan tepat waktu dan berdasarkan data. Kewajiban ini akan membentuk budaya kerja bertanggungjawab dan sistematis, mengurangi risiko pemborosan, dan meningkatkan akuntabilitas. Sistem pelaporan real-time yang transparan harus diwujudkan agar publik juga dapat mengawasi secara efektif.
Reformasi dalam tata kelola fiskal perlu diiringi penyederhanaan birokrasi pencairan dana, serta penguatan koordinasi pusat-daerah untuk memastikan dana fiskal cepat tersalur dan dimanfaatkan sesuai prioritas pembangunan. Dengan profesionalisasi manajemen fiskal dan pengawasan ketat, dana publik dapat kembali menjadi penggerak utama pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Singkatnya, dana fiskal yang mengendap di bank merupakan masalah fundamental manajemen publik yang harus direspons dengan peningkatan kompetensi, dan disiplin pembacaan laporan keuangan secara rutin, serta reformasi sistemik yang mendasar.
Dengan semua langkah tersebut, pengelolaan anggaran negara dapat lebih efisien, tepat waktu, dan berdampak nyata bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.


















































