
ASOSIASI Inventor Indonesia (AII) bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kembali menggelar sosialisazi hasil riset Program Grant Riset Sawit (GRS) Tahun 2021-2023 yang siap dihilirisasi.
Dari 16 invensi yang divaluasi, AII berhasil mengantar 9 invensi meraih Letter of Intent (LoI) atau surat kesepakatan sementara; 4 lainnya berupa penandatanganan NDA (Non-Disclosure Agreement) atau perjanjian hukum yang melindungi informasi rahasia dari pihak ketiga; dan 2 sisanya menuju NDA.
"Proses komersialisasi hasil riset itu tidak semudah membalik tangan, meski ada hitung-hitungan ekonominya. Karena itu, tugas AII menjadi jembatan bagi inventor dan investor agar proses ini bisa berjalan lancar," kata Ketua Umum AII, Prof Dr Didiek Hadjar Goenadi di Jakarta, Jumat (28/2/25).
Melalui keterangan yang diterima pernyataan tersebut disampaikan dalam seminar bertajuk 'Sosialisasi Hasil Riset GRS 2021-2023' yang menghadirkan narasumber Direktur Penyaluran Dana BPDP, Mohammad Alfansyah; Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Lila Harsya Bakhtiar; dan CEO Agro Investama Group, Petrus Tjandra.
Prof Didiek menjelaskan, proses komersialisasi berjalan jalan lambat karena AII harus bisa meyakinkan para calon investor tak hanya soal teknologinya, tetapi juga potensi ekonomi yang ada di dalamnya.
"Sebelum pembahasan teknologi lebih dalam, kita harus buat ikatan dulu dengan investor. Karena teknologi yang kita bicarakan itu kan 'barang dagangan'. Karena itu, kita buat perjanjian yang disebut Non Disclosure Agreement (NDA) agar investor tidak membuka rahasia teknologinya," katanya.
Ia mengungkapkan, hal-hal semacam itu bisa menjadi kendala, apalagi jika ada peraturan antarsektor yang tidak sinkron, sehingga menghambat proses hilirisasi. "Semoga kendala ini mendapat perhatian dari pemerintah, agar makin banyak hasil riset anak bangsa yang bisa bermanfaat bagi masyarakat," tuturnya.
Disinggung soal jumlah invensi yang berhasil AII bantu menuju hilirisasi, Prof Didiek menyebut, ada 45 invensi dari riset GRS sejak 2019 hingga 2023 yang dibantu mendapat komitmen dari industri.
"Tidak berhenti sampai komitmen. Selanjutnya, bagaimana produk dibuat massal, ketersediaan bahan baku hingga bentuk pemasaran. Prosesnya masih panjang dan butuh dana yang tidak sedikit. Karena itu, proses hilirisasi tidak selalu berjalan mulus," tukasnya.
Direktur Penyaluran Dana BPDP, Mohammad Alfansyah mengutarakan perubahan nomenklatur dari BPDPKS menjadi BPDP tidak mempengaruhi program yang dikembangkan bersama AII. Malah, bidang penelitian semakin luas, tak hanya kelapa sawit tetapi juga kelapa, cocoa dan karet.
"Mulai tahun ini, inventor bisa mengajukan proposal riset terkait kelapa, karet dan cocoa yang akan didanai BPDP menuju hilirisasi. Tentu saja, risetnya tidak dari awal, paling tidak sudah TRL-7," katanya menegaskan.
Ditanya soal dana penelitian yang dialokasikan BPDP, Alfansyah tidak menyebut angka pasti. "Tak ada alokasi khusus, dana disesuaikan dengan proposal yang akan dibiayai. Mungkin angkanya seperti tahun sebelumnya, sekitar Rp90 miliar," ungkapnya.
Dana penelitian itu tidak dikurangi, menurut Alfansyah, karena masih terbilang minim, dibandingkan program lain yang berdana besar seperti subsidi biodiesel, peremajaan sawit rakyat, pengembangan SDM dan penyediaan sarana dan prasarana.
"Kami berterima kasih kepada AII, yang sudah membantu memvaluasi hasil-hasil riset sawit untuk hilirisasi. Karena tidak mudah menaikkan riset TRL-7 hingga menjadi produk yang siap dikomersialisasi," ucapnya.
Hal senada dikemukakan Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Lila Harsya Bakhtiar. Pihaknya mendukung acara ini karena relevan dengan program yang dikembangkan Kementerian Perindustrian, yaitu mendorong komersialisasi hasil riset, terutama komiditas kelapa sawit.
"Kita tahu, kelapa sawit saat ini menjadi penggerak ekonomi nasional. Proses hilirisasi industri kelapa sawit sudah berjalan dengan bagus. Ada sekitar 200 produk turunan sawit, yang semua itu berawal dari riset," ucapnya.
Ditambahkan, ketika kelapa sawit dikembangkan 30 tahun lalu, industri hanya mengenal Crude Palm Oil (CPO). Sekarang, Indonesia telah mengekspor lebih dari 93 persen dalam bentuk olahan sawit. Program hilirisasi berhasil dalam meningkatkan nilai tambah kelapa sawit kita.
"Kementerian Perindustrian bahan telah memiliki 'roadmap' atau peta jalan pengembangan hilirisasi industri, yang tidak hanya berbasis minyak, tetapi juga berbasis biomasa kelapa sawit," kata Lila.
Sementara itu, CEO Agro Investama Group, Petrus Tjandra mengungkapkan pengalamannya bekerja sama dengan AII dalam proses hilirisasi hasil riset yang dikembangkan salah satu anggota AII.
"Invensi ini tidak terkait dengan kelapa sawit, tetapi sebuah alat yang disebut Torsiplus hasil karya anak bangsa. Alat itu dipasang di mobil, baik solar maupun bensin yang dapat menghemat BBM dan mereduksi gas rumah kaca," tuturnya.
Alat tersebut, lanjut Petrus Tjandra, telah diujicoba pada tiga mobilnya dengan jenis yang berbeda-beda, dan terbukti mampu menghemat penggunaan bahan bakar hingga 30 persen.
"Semoga alat ini bisa diproduksi massal dalam waktu dekat dan diterima masyarakat dengan baik Karena selain hemat biaya, alat tersebut juga mereduksi gas rumah kaca untuk lingkungan hidup yang lebih baik," tandas Petrus Tjandra.(H-2)