
DI tengah gempuran tren mode modern dan industri tekstil massal, ulos, kain tenun khas Batak, tetap berusaha mencari ruangnya sendiri. Bukan sekadar benda warisan, ulos kini berada di persimpangan antara tradisi dan komersialisasi.
Pameran Jambarta Ulos and Artefact yang digelar sejak Desember 2024 hingga Mei 2025 di Piltik Coffee, Siborong-borong, Sumatera Utara, mencoba menjawab tantangan ini.
Dengan menampilkan 300 ulos antik dalam tiga periode berbeda—Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan—pameran ini tidak hanya sekadar selebrasi budaya, tetapi juga ajang evaluasi: sudah sampai di mana posisi ulos dalam ekosistem budaya dan ekonomi?
Dari Warisan ke Komoditas
Sebagai warisan budaya, ulos memiliki makna lebih dari sekadar kain. Ia adalah simbol kasih sayang, perlindungan, bahkan status sosial dalam masyarakat Batak. Namun, ketika ulos mulai dipamerkan dalam ajang internasional dan dikenakan selebriti, muncul pertanyaan: apakah ini bagian dari upaya pelestarian atau sekadar langkah komersialisasi? Desainer Torang Sitorus, penggagas pameran ini, tampaknya berada di tengah-tengah dilema ini.
"Aku pikir udah waktunya kita bikin sesuatu supaya orang-orang di Toba lebih menghargai ulos mereka sendiri," ujar Torang.
Sebuah pernyataan yang jujur, tapi juga memancing refleksi: apakah penghargaan terhadap ulos hanya bisa terwujud setelah ia dikenal di luar negeri?
Dua tahun terakhir, Torang membawa ulos ke berbagai pameran internasional.
"Dari 2024-2025, kita memang pamerannya kebanyakan di luar negeri. Karena Indonesia udah berhasil kita ulosin," katanya. Pernyataan ini menegaskan ambisi besar, tetapi juga mengungkapkan realitas yang cukup menggelitik: mengapa ulos harus lebih dulu mendapatkan pengakuan global sebelum dihargai sepenuhnya di tanah kelahirannya sendiri?
Pameran ini juga menampilkan artefak budaya Batak seperti gorga, singa-singa, dan tunggal panaluan, yang sebagian besar telah berpindah ke koleksi pribadi. Ini menjadi ironi tersendiri—benda-benda yang dulunya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, kini hanya bisa dilihat dalam bingkai pameran.
"Maksudnya ini untuk mengenalkan kembali ke masyarakat supaya mereka lebih menjaga," ujar Torang.
Tetapi, apakah cukup hanya dengan melihat, atau perlu ada langkah konkret agar warisan ini tetap hidup dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari?
Pemilik Piltik Coffee, Tigor Siahan, yang menjadi tuan rumah pameran, melihat peluang lebih besar dalam seni sebagai pendorong ekonomi lokal.
"Bukan soal mau ya, ini memang visi bagaimana kita memajukan Bona Pasogit melalui seni. Saya percaya seni bisa menggerakkan semua dengan sukacita," katanya. Pernyataannya menggarisbawahi bahwa warisan budaya seperti ulos bisa menjadi motor ekonomi jika dikelola dengan baik.
Namun, tantangannya bukan hanya soal bagaimana ulos bisa menarik perhatian dunia, tetapi juga bagaimana masyarakat lokal bisa mendapatkan manfaat langsung dari kebangkitan ulos ini. Pameran ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan ekosistem budaya sebagai bagian dari daya tarik wisata. (Z-10)