
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid terus menyuarakan kekecaewaannya terkait UU TNI. Ia menilai peraturan perundangan itu cacat formil karena pembahasan dan pengesahannya dilakukan terlalu cepat dan minim partisipasi publik. Pemerintah dan DPR sangat tergesa gesa dan terkesan menutup ruang perubahan mendasar UU TNI sebagaimana mandat Reformasi sehingga menyisakan banyak masalah substansial.
"Kami menilai revisi UU TNI tidak dirancang untuk mewujudkan transformasi tentara yang profesional dan modern. Agenda modernisasi alutsista, kesejahteraan prajurit, reformasi peradilan militer juatru tidak menjadi agenda pembahasan dalam revisi UU TNI," ujar Usman melalui keterangan tertulis, Jumat (18/4).
Mnurutnya, revisi UU TNI bertentangan dengan upaya profesionalisme militer dengan melegalisasi ruang untuk menduduki jabatan sipil atau dwifungsi TNI dengan dalih operasi selain perang.
Koalisi mencatat ada penyelundupan prinsip dasar yang harus ditolak yakni tugas operasi militer selain perang (OMSP) tidak lagi memerlukan keputusan politik negara, sebagaimana dimuat dalam Pasal 7 ayat (4). Padahal, di dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004, tugas OMSP harus melalui keputusan politik negara, yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR.
Penjelasan Pasal 7 Revisi UU TNI, militer dapat melakukan OMSP hanya dengan cara pemerintah menginformasikan saja kepada DPR. Itu artinya, militer bisa masuk kembali dalam menjaga keamanan dalam negeri dan wilayah sipil dengan ruang yang lebih luas untuk menghadapi ancaman yang ada, seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru. Dengan demikian, pasal ini akan memperluas masuknya militer dalam wilayah sipil. Secara politik, pasal ini menjadi legitimisasi dan justifikasi dari praktik penyimpangan yang selama ini terjadi, di mana militer sudah mulai terlibat dalam pelaksanaan program pemerintah, seperti program cetak sawah, ketahanan pangan, menjaga Proyek Strategis Nasional, dan lainnya.
"Jika membaca Pasal ini, secara genealogi kekuasaan Pemerintah saat ini akan menggunakan militer untuk menyukseskan program pemerintah, seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru dengan dalih operasi selain perang. Ini yang sering disebut dengan sekuritisasi," tuturnya.
Ia menekankan UU TNI yang baru ini tidak sejalan dengan konstitusi dan membingungkan secara normatif. Dengan memberi ruang yang luas pada militer masuk wilayah sipil dan keamanan dalam negeri kembali dengan dalih operasi selain perang, hal ini akan membawa dampak pada melemahnya profesionalisme TNI itu sendiri.
"Militer akan disibukan dengan tugas-tugas yang sifanya perbantuan untuk OMSP, sementara tugas pokoknya untuk operasi perang dalam menjaga kedaulatan negara akan terganggu. UU TNI bukan memperkuat profesionalisme TNI justru menjauhkan TNI dari fungsi utama sebagai penjaga pertahanan negara," tandasnya. (E-3)