
DI tengah berbagai tantangan peningkatan kualitas pendidikan di negara berkembang, pelatihan guru menjadi salah satu titik krusial yang terus diuji efektivitas dan jangkauannya. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ribuan sekolah di daerah terpencil, menghadapi tantangan besar dalam menyediakan pelatihan profesional yang merata, berkualitas, dan berkelanjutan. Transformasi digital pun mencuat sebagai solusi potensial.
Menanggapi kebutuhan tersebut, Tanoto Foundation menyusun studi berjudul The Effectiveness of Different Modalities of Digital-based Teacher Training Program in Indonesia. Studi ini menguji berbagai pendekatan pelatihan guru berbasis digital dan bagaimana teknologi dapat memperluas dampaknya ke berbagai penjuru negeri, terutama daerah dengan infrastruktur pendidikan terbatas.
Studi ini dipresentasikan dalam forum bergengsi Comparative and International Education Society (CIES) 2025 di Chicago, Amerika Serikat, pada bulan Maret lalu. Dalam sesi bertajuk “Global Tech Sparks: Pioneering Teacher Development Across Borders,” Murni Leo dan Golda Eva Simatupang memaparkan temuan utama mereka. Keduanya mewakili Tanoto Foundation sebagai Head of Monitoring, Learning, and Evaluation dan Education Specialist Lead.
Studi ini menyoroti pentingnya pendekatan pelatihan yang fleksibel dan adaptif.
“Pendekatan pengembangan profesional guru harus mempertimbangkan keragaman konteks wilayah dan tantangan yang dihadapi di lapangan,” kata Golda Simatupang. Ia menekankan bahwa strategi pelatihan yang seragam justru bisa mengabaikan kebutuhan nyata para guru di lapangan.
Dalam implementasinya, Tanoto Foundation mengembangkan empat model pelatihan digital. Masing-masing memiliki karakteristik berbeda dari pelatihan mandiri sepenuhnya melalui platform online, hingga yang paling terstruktur dengan pendampingan intensif. Fokus dari semua model ini adalah meningkatkan kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran aktif di ruang kelas.
“Fokus empat pendekatan pelatihan ini adalah pada peningkatan kapasitas guru dalam menerapkan metode pembelajaran aktif di ruang kelas, sesuai dengan standar kompetensi guru yang ditetapkan dalam Program PINTAR Tanoto Foundation,” jelas Golda.
Murni Leo menambahkan bahwa studi ini didasarkan pada analisis sekitar 17.000 data pelatihan dari lebih 30 kabupaten/kota di Indonesia selama periode 2021–2023. Data tersebut mencakup hasil kuis dalam aplikasi, analitik LMS, survei online, hingga catatan administratif. Dari sana, mereka menganalisis berbagai aspek mulai dari tingkat penyelesaian pelatihan, penyerapan materi, hingga efisiensi biaya.
“Salah satu temuan utama dari penelitian ini adalah pelatihan guru berbasis digital dapat menjadi alat yang efektif dan efisien dalam menyebarkan pengetahuan secara luas, terutama di wilayah dengan keterbatasan akses,” ujar Murni. Meski demikian, ia menekankan pentingnya peran manusia dalam proses belajar. “Interaksi antara manusia tetap memegang peranan penting, khususnya di tahap awal pelatihan, untuk membangun komitmen belajar dan meningkatkan pemahaman peserta terhadap materi,” lanjutnya.
Menurut Murni, kombinasi antara teknologi dan kehadiran manusia menjadi pendekatan yang paling menjanjikan. Platform digital memberikan fleksibilitas yang tinggi bagi guru untuk belajar secara mandiri dan sesuai ritme mereka masing-masing. Ini memungkinkan mereka tetap menjalankan tugas mengajar tanpa harus meninggalkan tempat kerja.
Tantangan tetap ada, terutama dalam hal kepercayaan diri guru terhadap teknologi digital. Namun data menunjukkan bahwa pendekatan ini mampu meningkatkan kemampuan dan persepsi guru terhadap literasi digital.
“Sebelum diperkenalkan pada Learning Management System (LMS), seluruh responden menilai kemampuan digital mereka dalam kategori rendah. Setelah menggunakan LMS selama satu bulan, jumlah responden yang menilai dirinya masih dalam kategori kemampuan rendah menurun menjadi 32%. Sebanyak 43% responden menilai kemampuan mereka memadai, dan 25% lainnya menilai diri mereka memiliki kemampuan baik,” terang Murni.
Policy Lead dari Gates Foundation, Asyia Kazmi, yang hadir dalam sesi CIES tersebut, memberikan apresiasi atas pendekatan yang diambil oleh Tanoto Foundation. Ia menyatakan bahwa organisasi ini tidak hanya merancang program dari atas ke bawah, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan pelaksanaan di lapangan secara serius.
Golda juga menyampaikan rasa bangganya atas pengakuan dari komunitas akademik internasional.
“Pengakuan di komunitas akademisi internasional ini menjadi motivasi bagi kami di Tanoto Foundation untuk dapat terus menciptakan program berbasis data dan berdampak bagi ekosistem pendidikan Indonesia,” ungkapnya.
Keberhasilan Tanoto Foundation dalam membawa studi ini ke forum global memperlihatkan pentingnya inovasi berbasis konteks. Temuan ini tak hanya berkontribusi bagi kebijakan pendidikan Indonesia, namun juga membuka peluang kolaborasi internasional untuk membangun sistem pendidikan yang lebih adaptif dan inklusif, khususnya di negara-negara berkembang. (RO/Z-10)