
KETUA Tim Penasihat Hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir dalam pembacaan nota pembelaan (pledoi) klien-nya mengatakan bahwa tuntutan tujuh tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya merupakan kriminalisasi terhadap kebijakan publik.
Ari menegaskan bahwa proses hukum yang dijalankan Tom Lembong sejak awal mulai dari penyidikan hingga digelarnya persidangan dan tuntutan 7 tahun, penuh dengan rekayasa dan seperti dibuat-buat.
“Perkara ini mulai dari penyidikan dan digelarnya persidangan senantiasa dalam irama yang sumbang dan syarat rekayasa ada kesan yang sangat kuat bahwa persidangan terhadap perkara ini sejak awal telah didesain, bukan untuk mencari kebenaran, tapi sekedar melegitimasi dakwaan jaksa demi satu tujuan yang telah ditentukan, yaitu menghukum terdakwa,” katanya dalam sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/7).
Persetujuan Presiden Joko Widodo
Ari juga sempat mengungkit bahwa aktivitas importasi gula yang dilakukan Tom Lembong semasa menjadi mendag, telah mendapat persetujuan dari Joko Widodo selaku presiden saat itu.
Ia pun menegaskan bahwa seluruh keputusan Tom Lembong saat menjabat Menteri Perdagangan dilakukan berdasarkan hukum, arahan presiden, serta koordinasi lintas kementerian.
“Tuntutan ini bukan hanya tak berdasar hukum, tapi juga mencederai prinsip keadilan dan akal sehat,” jelasnya.
Ari menyatakan bahwa Tom Lembong selama menjabat sebagai menteri perdagangan tidak pernah menerima keuntungan pribadi, tidak melakukan kolusi, dan tidak mengarahkan kebijakan untuk menguntungkan pihak tertentu.
“Klien kami tidak menerima sepeser pun. Tidak ada kolusi, tidak ada keuntungan pribadi. Bahkan, beberapa perusahaan justru mengalami kerugian dari kebijakan ini,” tukasnya.
Kebutuhan Nasional
Selain itu, Ari menekankan kebijakan impor gula yang menjadi sorotan dalam perkara ini justru dilandasi oleh kebutuhan nasional untuk menjaga ketersediaan stok dan stabilitas harga.
Impor tersebut, lanjut Ari, dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan disetujui Presiden Joko Widodo.
“Impor itu diputuskan dalam Rakortas, bukan semena-mena. Dasar hukumnya jelas. Jadi tidak bisa disebut sebagai penyalahgunaan wewenang,” jelas Ari.
Kuasa hukum juga mempertanyakan dasar tuntutan yang menggunakan audit BPKP tahun 2024. Padahal audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 secara tegas menyatakan tidak ada kerugian negara dalam impor gula 2015–2016.
“BPK sebagai lembaga audit resmi negara menyatakan tidak ada kerugian negara. Lalu tiba-tiba tujuh tahun kemudian muncul audit BPKP yang berseberangan? Ini tidak sah dan melanggar asas ne bis in idem,” kata Ari.
Ari menilai metode penghitungan kerugian dalam audit BPKP sangat lemah. Menurutnya, ada kekeliruan dalam asumsi dan penghitungan kurs.
“Ada pengabaian konteks kebijakan yang saat itu ditujukan untuk menekan lonjakan harga dan menjaga pasokan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Ari menjelaskan semua keterangan dari ahli BPKP tersebut tidak benar dan mengada-ada. Menurutnya, pernyataan yang diberikan BPKP semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan dari pihak kejaksaan agar sesuai dengan target untuk menghukum Tom Lembong.
“Ironinya, ini bertambah kehadiran puluhan saksi yang banyak diantaranya tidak relevan hanya memperpanjang proses tanpa menambah bobot pembuktian. Hal ini menunjukkan bahwa dakwaan dibangun secara serampangan menumpuk saksi tanpa seleksi agar tanpa seolah lengkap padahal substansinya rapuh,” tegasnya. (Dev/M-3)