
DALAM 15 tahun terakhir, 72.000 satuan pendidikan dan lebih dari 12 juta anak sekolah terdampak bencana. Untuk itu, pengarusutamaan satuan pendidikan aman bencana (SPAB) sangat penting dalam sistem pendidikan nasional.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dalam sambutan yang dibacakan Direktur Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Kementerian Dikdasmen Saryadi pada puncak Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2025 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (26/4).
“Dan tercatat lebih dari 2.500 sekolah setiap tahun dilaporkan terdampak bencana dalam kurun waktu lima tahun terakhir,” ujar Mu’ti seperti dikutip dari keterangan resmi.
Hasil pemetaan Kemendikdasmen dengan BNPB menunjukkan sebagian besar satuan pendidikan berada di zona rawan bencana. Lebih dari 400 ribu sekolah berada di daerah rawan gempa bumi, 200 ribu sekolah rawan bencana banjir.
Kemudian 49 ribu sekolah di rawan bencana tanah longsor, 8 ribu sekolah berada di daerah rawan tsunami, 8 ribu di kawasan bencana letusan gunung api, 17 ribu sekolah berada pada rawan banjir bandang, dan 50 ribu sekolah berada di rawan bencana asap dan karhutla.
Selain itu, lebih dari 57 persen sekolah memiliki lebih dari dua ancaman bencana. “Lebih dari 25 juta siswa dan 1,5 juta guru berada di sekolah dengan ancaman bencana kategori sedang hingga tinggi,” katanya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengevaluasi dan mengidentifikasi adanya tiga tantangan utama dalam penciptaan resiliensi terhadap bencana. Pertama, ketahanan struktur bangunan sekolah yang belum merata.
Kedua, tata kelola risiko di sekolah masih lemah, baik dari sisi perencanaan, pengawasan hingga koordinasi saat terjadi keadaan darurat. Terakhir, kemampuan mitigasi dan kesiapsiagaan warga sekolah masih rendah.
“Ini termasuk di dalamnya edukasi kebencanaan, prosedur evakuasi dan kepemimpinan saat darurat,” tambahnya.
Dari tantangan yang ada tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mendorong percepatan implementasi SPAB secara lebih masif dan integratif. Ada lima cara yang telah dirumuskan untuk mewujudkan SPAB.
Kelima cara tersebut yaitu revitalisasi sarana dan prasarana; penguatan iklim sekolah yang adaptif terhadap risiko; integrasi literasi kebencanan dalam kurikulum dan pembelajaran; simulasi dan event tematik pembelajaran hidup nyata; serta peningkatan kapasitas guru dengan memasukan materi kesiapsiagaan dalam pendidikan profesi guru dan pelatihan guru sejak awal.
Sebanyak 7.000 satuan pendidikan melakukan simulasi di Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2025. HKB yang jatuh pada Sabtu, 26 April 2025, juga tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia atau MURI. Lebih dari 1,4 juta warga melakukan secara serentak pada tanggal tersebut, tepat pukul 10.00 pagi di seluruh Nusantara.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, sejak dicanangkan pada 2017 lalu, HKB berturut-turut pelaksanaannya meningkat dari sisi jumlah peserta.
“Bahkan HKB yang ke-9 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pesertanya sangat banyak, baik sekolah maupun secara perorangan,” ujar Suharyanto.
Pencapaian HKB 2025 diapresiasi Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang. Ia menyampaikan, BNPB tidak hanya menekankan pada fase tanggap darurat tetapi juga aspek kesiapsiagaan bencana.
“Ini artinya mengurangi risiko, mengurangi korban dan tentu kita siap untuk selamat,” ujar Marwan Dasopang.
Pihaknya mendukung dan memberikan penguatan kepada BNPB dalam penanggulangan bencana. Komisi VIII DPR juga akan terus mengawal BNPB dalam penanganan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia.
Marwan menambahkan, pencapaian HKB tahun ini tidak hanya di tingkat nasional tetapi dunia. Peringatan ini menjadikan masyarakat siap dalam menghadapi bencana dan tangguh dan membangun kebersamaan. (H-2)