
SEJAK diperkenalkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto pada 3 Mei 2025 dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, program hasil terbaik cepat (PHTC) menjadi tonggak penting yang menandai arah kebijakan pendidikan di era kepemimpinan baru.
Menarik untuk diamati bagaimana program yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) itu bergerak melampaui pendekatan konvensional dalam membangun ekosistem pendidikan nasional, khususnya dalam transformasi berbasis digital.
Dari pengamatan terhadap implementasi awal, program itu menawarkan tiga dimensi perubahan yang layak dicermati: revitalisasi infrastruktur digital, penguatan kapasitas tenaga pendidik, dan pergeseran paradigma kebijakan berbasis dampak. Ketiga elemen itu, jika dilihat dari perspektif kebijakan publik, mengindikasikan upaya meningkatkan pemerataan mutu yang lebih terstruktur dibandingkan inisiatif serupa pada periode sebelumnya.
REVITALISASI INFRASTRUKTUR DAN EKOSISTEM DIGITAL
Salah satu elemen yang paling kentara dari revitalisasi pendidikan di bawah koordinasi Kemendikdasmen adalah akselerasi pemerataan infrastruktur digital. Dalam PHTC, ada penekanan besar pada digitalisasi sarana belajar, dari penyediaan perangkat TIK, platform pembelajaran daring, hingga penguatan jaringan internet sekolah-sekolah di daerah tertinggal.
Menurut data yang dipublikasikan melalui TVRI dan kanal resmi pemerintah, hingga awal 2025 setidaknya 45 ribu satuan pendidikan dasar dan menengah telah menerima bantuan revitalisasi fasilitas digital, terutama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Revitalisasi digital tidak berhenti pada pengadaan perangkat, tetapi diarahkan pada pembentukan ekosistem belajar yang kontekstual dan adaptif terhadap kebutuhan lokal.
Program 'sekolah aktif digital' menegaskan pendekatan berbasis kebutuhan lapangan, sementara penguatan jaringan di kawasan 3T menunjukkan keberpihakan afirmatif yang semakin menjauhi pendekatan top-down konvensional. Hal itu mencerminkan bahwa Kemendikdasmen tidak lagi terpaku pada distribusi alat semata, tapi berupaya menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berkelanjutan.
Transformasi pendidikan tidak akan berjalan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Program revitalisasi yang dicanangkan Kemendikdasmen menjadi etalase keseriusan pemerintah dalam menghadirkan keadilan akses digital. Distribusi TIK untuk ribuan sekolah, dukungan terhadap digital talent scholarship, serta penyediaan platform pembelajaran berbasis aplikasi, semua itu menunjukkan arah yang sistematis dan tidak simbolis. Bahkan, keterlibatan sektor swasta dalam membangun kolaborasi lintas platform turut memperkuat ekosistem pembelajaran digital yang semakin inklusif.
Hal yang menarik dari pendekatan itu adalah pergeseran logika kebijakan dari sekadar distribusi perangkat ke pembangunan ekosistem yang berkelanjutan. Kemendikdasmen kini tidak hanya menghitung jumlah komputer yang dikirim ke sekolah-sekolah, tetapi juga mulai menakar daya hidup dan daya guna teknologi dalam ruang kelas nyata. Keberpihakan terhadap sekolah-sekolah di daerah 3T, peningkatan bandwidth, hingga pelatihan teknis pendampingan menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berorientasi pada outcome dan dampak yang nyata.
PENGUATAN KAPASITAS GURU DAN KEPEMIMPINAN SEKOLAH
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 menegaskan bahwa 'tidak akan ada pendidikan yang kuat tanpa guru yang kuat'. Pernyataan itu menggambarkan prioritas negara untuk menempatkan guru dan kepala sekolah sebagai ujung tombak transformasi pendidikan nasional.
Sejalan dengan itu, Menteri Pendidikan Prof Abdul Mu'ti menekankan bahwa pembangunan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi harus melalui proses pembinaan yang konsisten, berkelanjutan, dan kontekstual.
Titik berat revitalisasi lainnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia pendidikan, khususnya guru dan kepala sekolah. Kementerian Pendidikan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) telah meluncurkan berbagai modul pelatihan berbasis blended learning--kombinasi daring dan luring--yang menjangkau lebih banyak guru, termasuk di wilayah nonperkotaan. Data internal menunjukkan bahwa lebih dari 120 ribu guru telah mengikuti pelatihan berbasis kebutuhan lokal sejak awal 2024.
Kelebihan pendekatan itu ialah fleksibilitas dan relevansinya. Pelatihan tidak lagi bersifat normatif seperti sebelumnya, tetapi diarahkan pada praktik pengajaran yang kontekstual dan menyentuh kebutuhan peserta didik masa kini. Penguatan pada 'kepemimpinan instruksional' kepala sekolah juga menjadi agenda utama mengingat keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh guru di kelas, tetapi juga oleh manajemen dan tata kelola sekolah yang visioner.
Meski demikian, tantangan klasik seperti kesenjangan kualitas pelatihan antardaerah serta ketimpangan insentif masih menjadi pekerjaan rumah. Namun, pendekatan baru Kemendikdasmen yang bersandar pada prinsip kolaboratif dengan pemda dan komunitas pendidikan lokal layak diapresiasi sebagai bentuk desentralisasi yang sehat dalam pengembangan kualitas guru.
Salah satu lompatan strategis yang patut dicatat ialah penguatan kapasitas guru dan kepala sekolah melalui pendekatan jaringan belajar nasional (JBN) dan platform Aksara yang diperkenalkan dalam kepemimpinan baru. Melalui pendekatan itu, guru tidak hanya menjadi penerima materi, tetapi juga menjadi produsen pengetahuan, berjejaring lintas wilayah, dan melakukan refleksi praktik secara mandiri. Program pelatihan berbasis komunitas dan coaching onsite memperkuat posisi guru sebagai penggerak ekosistem sekolah yang adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi.
Penguatan kapasitas itu tidak dibangun dengan logika instruksi dari atas, tetapi melalui pendekatan komunitas pembelajar dan reflektif. Guru tidak diposisikan sebagai objek pelatihan, tapi subjek yang aktif mengonstruksi pengetahuan. Model itu sejalan dengan pandangan Prof Abdul Mu'ti bahwa 'pendidikan bukan sekadar proses administratif, melainkan juga ikhtiar memanusiakan manusia melalui pemuliaan profesi guru'.
Jika konsistensi pendekatan itu dijaga, dalam beberapa tahun ke depan akan terlihat generasi kepala sekolah dan guru yang tidak hanya cakap teknis, tetapi juga memiliki sense of agency untuk memimpin perubahan di tingkat satuan pendidikan.
PARADIGMA BARU: PHTC DAN KEBIJAKAN BERBASIS DAMPAK
Salah satu tonggak konseptual paling penting dalam arah baru kebijakan pendidikan nasional adalah implementasi PHTC di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Tidak seperti kebijakan sebelumnya yang kerap tersandera oleh logika administratif--jumlah sekolah, buku, atau guru--PHTC hadir dengan orientasi baru: pendidikan yang menekankan capaian berbasis dampak.
Dalam kerangka itu, pendidikan tidak sekadar dilihat dari input atau output-nya, tapi juga dari sejauh mana ia mampu mengubah kehidupan peserta didik dan ekosistem sosialnya secara nyata.
Pendekatan tersebut tidak datang dalam ruang kosong. Ia sejalan dengan kerangka pembangunan manusia berbasis capability approach yang diperkenalkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum, yang menekankan bahwa keberhasilan pendidikan bukanlah pada jumlah mata pelajaran yang diselesaikan, melainkan pada kemampuan seseorang menjalani hidup yang ia nilai bermakna.
Dalam konteks ini, PHTC mendorong integrasi nilai-nilai humaniora, kepemimpinan etis, serta literasi sosial dalam setiap tahapan pembelajaran. Kurikulum proyek, asesmen autentik, dan keterlibatan komunitas menjadi fitur dominan yang memperlihatkan bagaimana kebijakan itu bergerak melampaui rutinitas administratif.
Yang menjadi kekuatan dari PHTC ialah desain kelembagaannya yang terbuka dan kolaboratif. Alih-alih dibentuk sebagai unit birokrasi baru, PHTC berfungsi sebagai simpul penggerak perubahan yang melibatkan berbagai aktor--dari kampus, lembaga riset, sektor industri, hingga komunitas sipil.
Hal itu menjadi penanda bahwa Kemendikdasmen sedang membangun model governance pendidikan yang tidak sentralistik, tetapi deliberatif dan adaptif. Dengan begitu, ruang inovasi kebijakan tidak hanya datang dari pusat, tetapi juga dari sekolah-sekolah di pinggiran yang kini mulai diposisikan sebagai laboratorium sosial yang sah.
Namun, yang paling menarik dari paradigma itu ialah keberaniannya untuk menjadikan 'dampak' sebagai parameter evaluasi kebijakan, bukan hanya pelaporan kegiatan. Ini artinya, yang dihitung bukan lagi seberapa banyak pelatihan yang digelar atau modul yang dicetak. Namun, bagaimana pelatihan itu berdampak pada perubahan praktik mengajar di ruang kelas; bukan hanya berapa banyak komputer dikirim, melainkan juga bagaimana siswa menggunakannya untuk menyelesaikan persoalan riil dalam komunitasnya. Ini merupakan pergeseran dari policy for compliance menuju policy for transformation.
Tentu, tantangan masih ada: dari konsistensi data longitudinal yang dibutuhkan untuk menilai dampak kebijakan secara valid hingga kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola pelibatan publik secara bermakna. Namun, arah kebijakan ini sudah tepat. Dengan PHTC, Kemendikdasmen tidak sedang membuat proyek simbolis, tetapi membangun landasan jangka panjang bagi pendidikan yang humanistik, kontekstual, dan berdampak luas.
PHTC Presiden menandai fase baru dalam perjalanan transformasi pendidikan Indonesia dengan kebijakan yang menggulirkan perbaikan infrastruktur digital dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Upaya Kemendikdasmen dalam mempersiapkan masa depan bangsa semakin jelas melalui sinergi kebijakan yang berbasis pada dampak sosial dan ekonomi.
Namun, keberlanjutan transformasi pendidikan ini tidak hanya bergantung pada langkah-langkah kebijakan tersebut, tetapi juga pada evaluasi jangka panjang yang melibatkan keterlibatan semua pihak, baik pusat maupun daerah. Dengan memperkuat sinergi itu serta dengan keberanian untuk terus mengoreksi arah apabila diperlukan, revitalisasi pendidikan nasional dapat menemukan bentuk keberlanjutan dan signifikansinya dalam menjawab tantangan abad ke-21.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan ialah konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan serta keterbukaan untuk mendengarkan suara publik pendidikan agar pendidikan Indonesia dapat berkembang secara inklusif, merata, dan mampu mengatasi dinamika global yang terus berubah.