Review Film Pengepungan di Bukit Duri: Jeli Merefleksikan Realitas

7 hours ago 2
 Jeli Merefleksikan Realitas Film Pengepungan di Bukit Duri sedang tayang saat ini di bioskop. (dok. Come and See Pictures)

PENULIS dan sutradara Joko Anwar kembali dengan film terbarunya lewat Pengepungan di Bukit Duri. Sebuah drama-aksi distopia yang menempatkan Indonesia pada masa depan: 2027, atau dua tahun dari film ini tayang. Di film ke-11 dalam 20 karier perfilmannya, Joko tampak mengerahkan ambisinya untuk menampilkan keterampilannya dalam menjahit adegan demi adegan menjadi sebuah refleksi tentang realitas Indonesia yang terjadi saat ini.

Seperti halnya film-filmnya terdahulu, Joko kerap memasukkan kritik-kritik politiknya. A Copy of My Mind, misalnya. Sebuah film drama berbujet minim yang menampilkan pasangan kelas buruh pekerja salon Sari dan penjual DVD bajakan Alex, di tengah pusaran politik. Salah satunya, sel mewah salah satu pejabat yang ditunjukkan Joko dalam film tersebut. Dalam film pahlawan super, Joko tentu saja tidak absen untuk kembali mengusik lewat kritik.

Kini, sikap dan pandangannya terhadap Indonesia ia curahkan dalam drama-aksi thriller dengan tensi tinggi berdurasi 2 jam. Mengupas catatan hitam 1998, ketika konflik horizontal pecah dan mengakibatkan banyak korban atas kebencian rasialis. Joko, meramunya dengan latar distopia. Saat Indonesia ditunjukkan dengan muram lewat arahan tata artistik Dennis Sutanto, yang menyetting kereta menjadi seperti suatu tempat yang tak ramah, serta bar khusus bagi para komunitas Tionghoa yang menjadi suaka.

Kebencian yang disulut pada 1998, kembali menjadi sulutan pada 2027. Muncullah Edwin, diperankan dengan begitu dalam oleh Morgan Oey, yang mampu menampilkan lapisan traumatiknya di masa lalu ke dalam paranoia dan mode survival: Edwin menumbuhkan jenggot hingga kumis, menutup wajah dengan topi. Edwin adalah seorang guru seni. Ia baru saja ditinggal mati kakaknya, Silvi (Lia Lukman, saat muda diperankan oleh Sheila Kusnadi). Edwin mendapat wasiat, untuk mencari sang anak. Silvi hamil dan melahirkan akibat pada 1998 ia menjadi korban perkosaan dan tumbuh sebagai penyintas kekerasan HAM. 

Memenuhi janjinya, Edwin melanglang buana dari sekolah ke sekolah. Hingga tiba ke SMA Bukit Duri. Sekolah yang dalam latar ceritanya, merupakan bekas penjara dan menjadi penampungan bagi para anak-anak buangan masyarakat. Baru tiba, Edwin langsung ditodong pertanyaan tentang latar belakang rasialnya.

Di SMA Bukit Duri, Edwin meyakini anak yang dilahirkan kakaknya hadir. Tapi, ia justru bertemu dengan bentuk kekerasan lain. Sekelompok murid yang diketuai oleh Jefri (Omara Esteghlal) sebagai ancamannya. Tak hanya persekusi, tapi juga ancaman nyawa. Hampir sisa film kemudian, penonton akan dihadapkan pertarungan antara Edwin melawan Jefri bersama gengnya.

Omara bermain dengan penuh tenaga. Menjadikan karakter Jefri sebagai sosok yang penuh ironi. Membawa penonton untuk lebih dalam menyelami apa saja yang dialami seumur hidupnya yang masih beli itu.

Di luar duel Edwin dan Jefri, yang menghadapkan murid melawan gurunya, di dunia luar juga dikabarkan kerusuhan telah meluas. Para penyiar berita menghembus kabar tentang ketakutan berulangnya kekerasan yang terjadi pada 1998. Orang seperti Edwin, juga sesama komunitasnya di bar ‘suaka’ tentu yang paling was-was akibat terancamnya nyawa dan hidup mereka, sekali lagi.

Jika dalam beberapa tahun terakhir Joko ‘nyaman’ memproduksi horor yang memecahkan angka-angka laris, kini ia kembali dengan filmnya yang penting dan membawa isu yang krusial. 1998 dibicarakan, masa depan Indonesia ‘diramalkan’, dan bagaimana Joko menunjukkan ada horor yang diproduksi oleh negara. 

Melalui bekal pengalamannya memproduksi film-film genre, Pengepungan di Bukit Duri menunjukkan craftsmanship (keterampilan) yang berkelas. Memberikan ketegangan tentang distopia Indonesia yang rasanya juga terjadi saat ini, sekaligus kejeliannya merefleksikan realitas. Indonesia, digambarkan sebagai warna yang muram. Layaknya film-film distopia, Pengepungan di Bukit Duri menggabungkan antara yang kasual saat ini dan retro menjadi bagian dari masa depan. 

Alfonso Cuaron, dalam Children of Men (2006) juga menggambarkan distopia Inggris atau tepatnya di London pada 2027. Ketika lebih dari dua dekade perempuan tak bisa hamil. Film itu, juga memuat penuh unsur kekerasan dan kekejian yang dialami manusia. Irisan dengan Pengepungan di Bukit Duri, Joko menampilkan Indonesia sebagai negara yang juga penuh curiga dan risau kapan rusuh akan pecah. Children of Men menggaris bawahi kebencian pada imigran, Pengepungan di Bukit Duri menyoroti kebencian rasial pada komunitas Tionghoa yang juga terjadi di Indonesia di masa lalu, dan aktor yang terlibat pada perpecahan hingga berada di pusaran di 1998, juga tengah berkuasa saat ini. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |