
MENTERI Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi merespons soal Koalisi Masyarakat Sipil yang menggeruduk pembahasan revisi UU TNI dalam rapat Panja oleh Komisi I DPR bersama pemerintah yang digelar di Hotel Fairmont pada Sabtu (15/3) kemarin.
Prasetyo menuturkan demokrasi di Indonesia merupakan suatu kebebasan. Tetapi, kata Prasetyo, hal itu juga tidak boleh terlampau kelewatan.
"Ya seperti yang saya sampaikan bahwa demokrasi boleh tapi juga gak boleh kebablasan," ungkap Prasetyo di Kementerian PanRB, Jakarta Selatan, Senin (17/3).
Prasetyo menuturkan semangat yang harus dibawa dalam demokrasi dan kritik harus membangun, bukan kritik tanpa solusi.
"Semangatnya itu loh yang penting semangatnya itu, semangatnya ini harus konstruktif, energinya harus yang positif," ujarnya.
Prasetyo pun meminta agar kritik yang dilakukan oleh masyarakat sipil bisa disampaikan dengan baik.
"Kalau ada elemen masyarakat yang menghendaki memberikan masukkan sampaikan dengan baik, dengan konstruktif, tentunya harus teliti, harus jelas, apa yang dipolemikkan bukan sesuatu yang mau dikerjakan,” ujarnya.
“Jangan mempolemikan yang tidak ada. Itu tolonglah dikurangi energi-energi yang seperti itu," tandasnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah atau yang akrab disapa Castro itu menilai gaya orde baru yang militeristikbangkit kembali.
Hal tersebut mengacu pada dijaganya Hotel Fairmont oleh prajurit TNI dan teror terhadap aktivis KontraS setelah mengkritik pembahasan revisi UU TNI.
Castro mengungkapkan pembungkaman kritik dan pengerahan militer pertanda atau sinyal yang buruk bagi demokrasi Indonesia.
"Jangankan proses pembungkaman kritik, pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup itu sudah menandakan bahwa prosesnya memang tidak demokratis. Ada yang hendak disembunyikan. Apa yang disembunyikan? Kejahatan mengembalikan dwifungsi TNI," kata Castro, kepada Media Indonesia, Minggu (16/3).