
DUA kebijakan yang baru dikeluarkan pemerintah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 251 KUHD dan penerbitan SEOJK No. 7 Tahun 2025, yang akan berlaku aktif pada 1 Januari 2026, dianggap sebagai momen berbenah untuk para pelaku industri asuransi jiwa.
Kedua kebijakan ini menuntut industri untuk memperkuat tata kelola, meningkatkan transparansi, dan menyusun langkah-langkah yang berpihak kepada kepentingan pemegang polis.
Kebijakan putusan MK atas Pasal 251 KUHD sendiri berimplikasi langsung terhadap keabsahan kontrak polis asuransi. Kemudian penerbitan SEOJK No. 7 Tahun 2025 tentang atau mengatur penyelenggaraan asuransi jiwa dengan manfaat kesehatan.
"Industri asuransi jiwa memiliki komitmen jangka panjang untuk terus memperkuat pelindungan konsumen, tidak hanya dalam bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga melalui perbaikan tata kelola yang berkelanjutan," kata Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu dalam Media Gathering AAJI, yang digelar di Sentul, Kabupaten Bogor, kemarin.
Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 251 KUHD dan terbitnya SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 adalah momen penting untuk membuktikan bahwa industri tidak alergi terhadap perubahan.
"Kami menyambut kedua kebijakan ini sebagai peluang untuk menghadirkan kontrak polis yang lebih adil, serta layanan kesehatan yang lebih transparan, efisien, dan berpihak pada kebutuhan nasabah,” ungkapnya.
Pun demikian dengan terhadap terbitnnya SEOJK No. 7 Tahun 2025 yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2026. Togar mengatakan, pihaknya, industri asuransi jiwa menyambut regulasi ini sebagai bagian dari transformasi menuju ekosistem yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan.
“Setiap kebijakan dari regulator bukanlah beban, tetapi jalan menuju industri yang lebih dipercaya. Perlu kolaborasi aktif antara perusahaan, regulator, tenaga medis, dan media untuk membangun kepercayaan publik secara kolektif,” pungkasnya.
PERKUAT TATA KELOLA
Kepala Departemen Komunikasi AAJI, Karin Zulkarnaen menambahkan, bahwa SEOJK No. 7 Tahun 2025, merupakan langkah konkret regulator untuk memperkuat tata kelola dan keberlanjutan asuransi kesehatan.
“Regulasi ini menuntut perusahaan untuk lebih disiplin dalam manajemen risiko kesehatan, serta transparan dalam menjelaskan manfaat dan hak nasabah,” tegas Karin.
Dari sudut pandang profesi medis, Wakil Ketua I PERDOKJASI, dr. Emira Oepangat menjelaskan, peran strategis Dewan Penasihat Medis (DPM) sebagai penasihat independen bagi perusahaan dalam mengevaluasi manfaat layanan.
“DPM mendorong pendekatan medis berbasis evidence-based medicine. Ini penting untuk menghindari klaim yang tidak sesuai indikasi klinis dan membantu nasabah mengelola manfaat polis secara lebih bijak,” ujarnya.
Ia juga menyarankan adanya standarisasi obat dan treatment untuk mendukung efisiensi biaya. (E-2)