
PENELITI Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman mengatakan, belum ada kebijakan nyata yang dijalankan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terkait pemberantasan korupsi.
“Selama satu semester pemerintahan berjalan, upaya pemberantasan korupsi tak lebih dari sekedar omon-omon dan wacana yang disampaikan lewat pekikan pidato,” kata Zaenur kepada Media Indonesia pada Minggu (4/5).
Zaenur menjelaskan jika pemerintahan Prabowo menunjukkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu reformasi struktural yang mengacu pada institusi hukum, reformasi substansi hukum yaitu pembentukan undang-undang yang dibutuhkan untuk mendukung pemberantasan korupsi, serta reformasi kultural.
“Tiga-tiganya belum ada yang dilakukan di masa pemerintahan Prabowo ini. Upaya yang terlihat masih bersifat jargon, belum ada yang bersifat nyata dan konkret,” tukasnya.
Zaenur menilai, setelah enam bulan menjabat dan berulang kali menyampaikan komitmen terhadap pemberantasan korupsi, jika Presiden Prabowo Subianto berpihak pada pemberantasan korupsi, tak ada cara lain yang bisa dilakukan kecuali segera mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU).
“Salah satu hal penting yang bisa dilakukan Presiden untuk memberantas korupsi adalah dimulai dengan mengesahkan RUU perampasan aset. Presiden bisa keluarkan Peraturan perundang-undangan (Perpu),” katanya.
Menurut Zaenur, pemerintah juga tidak memperlihatkan upaya untuk menciptakan budaya integritas pada tataran pejabat publik. Ia menilai potensi konflik kepentingan di antara penyelenggara negara seolah dibiarkan tumbuh subur yang akhirnya menjadi pintu masuk korupsi.
“Pejabat di puncuk-puncuk kekuasaan itu tidak memberikan keteladanan. Misalnya orang-orang yang bermasalah dengan hukum, justru masih diangkat menjadi pejabat menteri dan diberi kedudukan. Ada juga bidang-bidang pekerjaan penting yang diberikan kepada koroni-koroni presiden, bahkan ada menteri-menteri yang merangkap jabatan,” jelasnya.
Zaenur menegaskan perlu ada perbaikan regulasi untuk mencegah konflik kepentingan salah satunya dengan memperkuat aparat penegak hukum. Namun sayangnya, peran aparat penegak hukum (APH) masih sangat lemah bahkan kerap kali menjadi pelaku korupsi.
“Peran APH juga masih sangat datar, tidak ada perubahan yang bersifat signifikan. Kalau dari sisi prestasi, kejaksaan paling bagus dalam aspek penindakan jika dibandingkan KPK dan Polri. Jadi saya lihat dalam satu semester ini Pemerintahan Presiden Prabowo ini belum punya prestasi yang bisa dibangkakan dalam pemerantasan korupsi,” imbuhnya.
Selain itu, dalam reformasi hukum, Zaenur mendorong agar pemerintah memiliki cetak biru yang jelas terkait prioritas pembenahan institusi penegakan hukum. Menurutnya, hal itu bisa dimulai dengan memperbaiki rekrutmen, promosi, mutasi, demosi, dan pengawasan baik di pengadilan hingga kejaksaan.
Selain itu, Zaenur juga menyoroti pentingnya merevisi UU KPK dan mengevaluasi dari pucuk pimpinan hingga stafnya serta mendorong transparansi dalam pengambilan kebijakan dan penegakan hukum yang memberikan efek jera.
“Dan yang paling adalah kembalikan independensi KPK, revisi undang-undang KPK juga sama sekali tidak diagendakan, itu juga harus menjadi fokus pemerintah selain mengesahkan RUU Perampasan Aset,” pungkasnya. (H-2)