Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Qatar Buntu

2 hours ago 2
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Qatar Buntu Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani.(Media sosial X)

PERUNDINGAN gencatan senjata Gaza yang digelar di Qatar kembali menemui jalan buntu. Dalam konferensi pers pada Selasa (21/5), Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyampaikan bahwa negosiasi antara Israel dan Hamas belum menunjukkan hasil signifikan.

“Satu pihak menginginkan kesepakatan parsial yang mungkin atau memiliki kemungkinan untuk menghasilkan kesepakatan komprehensif, dan pihak lainnya hanya menginginkan kesepakatan satu kali untuk mengakhiri perang serta membebaskan semua sandera,” katanya dikutip dari ABC News, Kamis (22/5).

"Dan kami tidak dapat menjembatani kesenjangan mendasar ini dengan proposal apa pun yang telah kami berikan," tambahnya.

Tidak serius bernegosiasi
Hamas sendiri menuding Israel tidak serius dalam bernegosiasi. Dalam pernyataan pada hari yang sama, kelompok tersebut menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terus memperpanjang masa tinggal delegasi Israel di Doha tanpa melakukan negosiasi yang substansial. Hamas mengklaim tidak ada perbincangan nyata sejak Sabtu lalu.

Sementara itu, Kantor Perdana Menteri Israel membantah tudingan tersebut. Mereka menyatakan bahwa Hamas-lah yang menolak usulan Amerika terkait pemulangan para sandera.

"Setelah sekitar satu minggu kontak intensif di Doha, anggota senior tim negosiasi akan kembali ke Israel untuk konsultasi dan eselon kerja akan tetap berada di Doha," ujar pernyataan resmi dari kantor Netanyahu.

Israel mengklaim sedang bekerja keras untuk mencapai kesepakatan yang melibatkan pembebasan semua sandera, pengusiran Hamas dari Gaza, serta pelucutan senjata di wilayah tersebut.

Israel dikecam dunia
Di tengah proses negosiasi yang mandek, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meluncurkan "operasi darat besar-besaran" di Gaza utara dan selatan pada Minggu lalu. Langkah ini memicu kecaman dari sejumlah negara Barat.

Dalam pernyataan bersama pada Senin (20/5), para pemimpin Inggris, Prancis, dan Kanada menyerukan agar Israel menghentikan operasi militernya dan segera membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Mereka memperingatkan bahwa jika seruan ini diabaikan, maka langkah konkret lebih lanjut akan diambil sebagai respons.

Sebagai tindakan awal, Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy mengumumkan pada Selasa bahwa Inggris menangguhkan negosiasi perjanjian perdagangan bebas baru dengan Israel serta akan menjatuhkan sanksi terhadap pemukim ekstremis di Tepi Barat.

"Terlepas dari upaya kami, tindakan dan retorika mengerikan pemerintah Israel ini terus berlanjut," ujarnya.

Gaza didemiliterisasi
Menanggapi kritik internasional, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak isi pernyataan bersama tersebut.

"Meminta Israel untuk mengakhiri perang defensif demi kelangsungan hidup kita sebelum teroris Hamas di perbatasan kita dihancurkan," katanya.

Ia menuduh para pemimpin di London, Ottawa, dan Paris telah memberi hadiah besar atas serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober dan membuka jalan bagi kekejaman serupa di masa mendatang.

"Perang dapat berakhir besok jika para sandera yang tersisa dibebaskan, Hamas meletakkan senjata, para pemimpin pembunuhnya diasingkan, dan Gaza didemiliterisasi," tambah Netanyahu.

"Tidak ada negara yang diharapkan menerima sesuatu yang kurang dari itu dan Israel tentu saja tidak akan menerimanya," lanjutnya.

Kementerian Luar Negeri Israel juga mengecam keputusan Inggris soal perdagangan dan sanksi, menyatakan bahwa tindakan eksternal tidak akan menggoyahkan komitmen Israel.

"Tekanan eksternal tidak akan mengalihkan Israel dari jalannya dalam mempertahankan keberadaan dan keamanannya dari musuh yang berusaha menghancurkannya," tegas kementerian tersebut. (Fer/I-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |