
PENYELIDIK independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pengkritik lantang terhadap tindakan militer Israel di Gaza, Francesca Albanese, mengungkapkan keterkejutannya setelah mengetahui bahwa dirinya dijatuhi sanksi oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Meski demikian, dia menyatakan tetap teguh pada pendiriannya atas situasi di Palestina.
Albanese menyebut upaya membungkam dirinya sebagai bentuk ketidakadilan terhadap mereka yang tidak punya kekuatan apa-apa selain berharap bisa bertahan hidup.
"Ini bukan tanda kekuasaan; ini tanda rasa bersalah," kata pengacara hak asasi manusia asal Italia itu seperti dikutip dari Arab News, Jumat (11/7).
Penolakan dan Tekanan terhadap Dewan HAM PBB
Albanese, yang menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Tepi Barat dan Gaza, ditugaskan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Palestina. Dia secara terbuka menyebut bahwa tindakan Israel di Gaza merupakan bentuk genosida. Tuduhan ini dibantah keras oleh Israel dan Amerika Serikat.
Departemen Luar Negeri AS memutuskan menjatuhkan sanksi sebagai kelanjutan dari upaya gagal untuk mendesak Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa agar mencopot Albanese dari jabatannya.
Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengatakan bahwa kampanye perang politik dan ekonomi Albanese melawan Amerika Serikat dan Israel tidak akan ditoleransi lagi, sebagaimana diunggah melalui media sosial.
Pengumuman sanksi tersebut bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Washington untuk membahas kesepakatan gencatan senjata dengan Presiden Trump. Netanyahu sendiri saat ini menghadapi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Penolakan terhadap AS
Albanese mengkritik pemerintah AS karena bersikap ramah terhadap Netanyahu, yang menurutnya seharusnya dianggap sebagai tersangka oleh ICC.
"Mereka berdiri berdampingan dengan seseorang yang dicari oleh ICC," ujarnya, mengacu pada fakta bahwa baik Israel maupun AS tidak mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut.
Dalam pesannya, Albanese menegaskan bahwa ia tidak akan mundur.
“Kita perlu membalikkan keadaan dan agar itu terjadi, kita perlu bersatu,” ucapnya.
"Mereka tidak bisa membungkam kita semua. Mereka tidak bisa membunuh kita semua. Mereka tidak bisa memecat kita semua," ujarnya
“Tidak seorang pun bebas sampai Palestina merdeka," tegasnya.
Komentar tersebut disampaikannya saat berada di Bandara Sarajevo dalam perjalanan menuju peringatan 30 tahun pembantaian Srebrenica, tragedi genosida yang menewaskan lebih dari 8.000 muslim Bosnia pada 1995.
Human Rights Watch, Pusat Hak Konstitusional dan juru bicara PBB Stephane Dujarric menyuarakan penolakan atas langkah AS. “Penerapan sanksi terhadap pelapor khusus merupakan preseden berbahaya dan tidak dapat diterima,” kata Dujarric.
Dia menambahkan bahwa meskipun Albanese tidak berada di bawah otoritas langsung Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, negara anggota seharusnya berhak tidak setuju, tetapi tetap terlibat secara konstruktif dengan arsitektur hak asasi manusia PBB.
Diketahui, AS di bawah Trump telah menarik diri dari Dewan HAM pada Februari lalu.
Konflik yang berlanjut
Konflik antara Israel dan Hamas dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya, demikian menurut data dari pihak Israel.
Sejak itu, serangan balasan Israel telah menyebabkan lebih dari 57.000 korban jiwa di Gaza, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah tersebut. Namun, tidak ada rincian berapa yang merupakan warga sipil atau kombatan.
Setelah hampir 21 bulan konflik, sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza terpaksa mengungsi. PBB menyatakan bahwa wilayah tersebut kini menghadapi kelaparan luas akibat blokade Israel terhadap distribusi makanan dan minimnya akses layanan kesehatan. (Fer/I-1)