
DATA Rapor Pendidikan 2022 menunjukkan dua dari tiga murid jenjang SD memiliki kecakapan numerasi di bawah kompetensi minimum. Hasil itu mirip dengan temuan PISA 2022. Yakni kemampuan sains pelajar Indonesia baru mencapai tingkat dasar. Itu artinya baru mampu mengidentifikasi fenomena ilmiah dengan sederhana.
Untuk menjawab tantangan itu, Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Guru (Ditjen GTKPG) Kemendikdasmen mendorong penguatan budaya numerasi di sekolah melalui 'Gerakan Numerasi Nasional'. “Kita akan luruskan, numerasi bukanlah sesuatu hal yang sulit apabila memahami konteksnya,” ujar Dirjen GTKPG Nunuk Suryani dalam keterangannya, kemarin.
Nunuk menjelaskan, gerakan ini merupakan kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam merancang strategi pembelajaran yang kaya numerasi.
Direktur Guru Pendidikan Dasar Rachmadi Widdiharto menambahkan tentang peran penting para guru dalam mewujudkan tujuan 'Gerakan Numerasi Nasional'. Menurutnya, guru perlu mengembangkan tiga aspek kompetensi untuk mendukung gerakan ini.
Guru harus dapat menghadirkan pembelajaran numerasi yang kontekstual dan menyenangkan. Selanjutnya mengintegrasikan numerasi dalam mata pelajaran lainnya seperti IPA, IPS, bahasa, dan ekonomi, serta melatih siswa berpikir kritis melalui kegiatan rutin seperti bincang numerasi selama 10-15 menit setiap hari di sekolah.
Theresia Sri Rahayu, seorang guru di SD Katholik Waimamongu, Sumba Tengah, bercerita praktik baik terkait strategi pembelajaran numerasi berbasis Coding AI berbentuk permainan di kelas. “Awal mula permainan yang saya kembangkan terkait numerasi ini mengintegrasikan sebuah model realistic mathematics education (RME), yaitu pendekatan yang mengaitkan masalah numerasi dengan konteks yang relevan bagi anak-anak. Saya buatkan dalam format coding AI karena ini yang sedang kekinian,” jelas Theresia.
Kemudian bersama kepala sekolah dan para guru, Sri mencari solusi agar anak-anak dapat antusias dengan pelajaran matematika. “Menariknya, mereka bahkan merasa seperti tidak sedang belajar matematika. Karena ada unsur sains, agama, dan konteks kehidupan sehari-hari yang kami masukkan ke dalam permainannya. Dampaknya, perlahan murid-murid saya menjadi lebih percaya diri, lebih kritis, dan lebih berani untuk mengemukakan pendapat,” ujarnya. (H-1)