Pemenuhan 30 Persen Keterwakilan Perempuan di AKD DPR RI akan Perkuat Keadilan Politik Substantif

6 hours ago 1
Pemenuhan 30 Persen Keterwakilan Perempuan di AKD DPR RI akan Perkuat Keadilan Politik Substantif PENELITI Gender dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kurniawati Hastuti Dewi.(Dok. Antara)

PENELITI Gender dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan, affirmative action atau tindakan khusus sementara diperlukan sebagai bentuk afirmasi positif untuk memperkuat keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya di AKD DPR RI.

“Demokrasi tidak cukup hanya dijalankan dengan prinsip “satu orang satu suara”, melainkan juga harus menjamin popular control dan political equality. Meski secara normatif perempuan dan laki-laki memiliki status yang setara, hambatan struktural dan budaya masih membatasi partisipasi politik perempuan,” katanya dalam sidang perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 di Gedung MK pada Selasa (8/7).

Ia menyebut fenomena glass ceiling atau langit-langit kaca sebagai simbol hambatan tak kasatmata yang dialami perempuan, mulai dari beban kerja ganda, stereotip domestik, hingga minimnya akses terhadap sumber daya politik.

“Glass ceiling merupakan metafora yang digunakan untuk menggambarkan hambatan sistemik tak kasatmata yang menghalangi perempuan untuk naik ke jenjang teratas dalam kelembagaan/politik, maju ke posisi kepemimpinan puncak/pengambilan keputusan, meskipun memiliki kualifikasi atau pengalaman,” tukasnya.

Kurniawati menambahkan bahwa dalam praktik pencalonan legislatif, perempuan sering kali mengalami kesulitan memperoleh nomor urut strategis karena dominasi elit laki-laki dalam partai politik.

“Caleg perempuan sering kali tidak memiliki sumber daya material yang memadai dan tidak memiliki jejaring ke dalam struktur partai politik yang cenderung didominasi elite laki-laki,”

Akibatnya, lanjut Kurniawati, perempuan harus mengandalkan jaringan informal untuk kampanye, karena akses terhadap mesin politik formal dan dana kampanye sangat terbatas.

“Sehingga dalam kampanye politik mereka cenderung tidak dapat mengandalkan mesin politik karena biaya yang sangat mahal, dan mereka hanya bisa mengandalkan jaringan informal termasuk jaringan perempuan selama kampanye,” ujarnya.

Kurniawati juga menekankan pentingnya massa kritis atau jumlah minimal 30% perempuan dalam lembaga legislatif agar suara dan pengaruh mereka tidak terpinggirkan.

“Ketika perempuan hanya menjadi minoritas kecil, mereka cenderung tidak berpengaruh, dipinggirkan, dan terjebak dalam peran simbolik,” ucapnya.

Dukung Kesetaraan Gender

Mengacu pada studi Drude Dahlerup dan rekomendasi Komisi PBB tentang Status Perempuan, angka 30 persen dianggap sebagai ambang batas untuk mendorong perubahan kebijakan yang berpihak pada kesetaraan gender.

Studi Drude Dahlerup yang berbasis pada kasus negara-negara Skandinavia terbukti berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dan menunjukkan dampak transformatif dari kehadiran perempuan dalam jumlah yang signifikan di parlemen.

“Ini memperlihatkan ketika jumlah mereka meningkat menjadi minoritas besar (≥30 persen), perempuan mulai mampu membentuk koalisi, mempengaruhi agenda legislatif, dan mengubah budaya institusi politik.,” ujar Kurniawati.

Di samping itu, Kurniawati menekankan bahwa kuota afirmasi 30 persen perempuan pada tahap pencalonan adalah bagian insentif di hulu untuk menguatkan kehadiran perempuan di parlemen. Sedangkan kuota 30 persen pada pimpinan AKD adalah upaya substantif di hilir untuk memberikan posisi strategis kepada perempuan dalam perumusan kebijakan.

“Di sisi lain, posisi yang strategis ini akan menjadi afirmasi terhadap jumlah perempuan yang masih belum mencapai angka 30 persen di parlemen. Melalui posisi yang strategis tersebut, sekalipun angka 30 persen belum tercapai, namun kehadiran substantif perempuan dapat diperkuat,” imbuhnya.

Kurniawati menegaskan Keadilan substantif perempuan dapat diperkuat dengan adanya presentasi perempuan 30 persen di AKD DPR RI, hal ini akan berkontribusi membentuk budaya kelembagaan parlemen yang inklusif.

“Ini juga akan berkontribusi menutup budaya kelembagaan parlemen yang inklusif dan meningkatkan situasi dukungan terhadap isu gender mainstream dalam berbagai kebijakan yang dihasilkan di DPR,”  pungkasnya.  (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |