
KONDISI Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia yang overcapacity terus menjadi beban negara. Guna memberi makan para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), pemerintah harus merogoh kocek hingga triliunan rupiah per tahunnya.
Di lain sisi, pemerintah juga menggencarkan efisiensi anggaran sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Ditambah lagi dengan adanya program andalan untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah harus putar otak dalam pencapaiannya.
Melihat kondisi itu, Pengurus Pusat Jaringan Muda Indonesia (PP JMI) menilai sudah seharusnya biaya makan WBP tak lagi menjadi beban negara.
“Kita bisa menjadikan warga binaan bermanfaat. Mereka harus dilatih dan dibekali untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Selama menjalani hukuman mereka bisa juga diajari untuk bertani dan bercocok tanam, menggarap sawah dan ladang agar swasembada pangan segera terwujud,” ujar Waketum PP JMI Hadi Roesmanto dalam keterangan resmi, Jumat (18/4).
Salah satu kegiatan unggulan yang dilaksanakan adalah kegiatan pertanian dan ketahanan pangan di lahan pertanian SAE Lakuli. Kegiatan ini menjadi sarana bagi para warga binaan untuk mengembangkan keterampilan bertani sekaligus meningkatkan ketahanan pangan lokal.
"Mereka tidak hanya mendapatkan pelatihan teknis tentang cara menanam yang benar, tetapi juga pengetahuan tentang pengelolaan lahan secara optimal untuk mendukung hasil pertanian yang maksimal. Minimal untuk makan, mereka bisa memenuhinya sendiri. Tentu hal ini harus menjadi program utama di setiap Lapas, " terang Hadi.
Menurut Hadi, seluruh WBP memiliki hak yang sama dan tidak ada perbedaan, sehingga seluruhnya wajib menjalani aturan Lapas tanpa pengecualian.
“Semua warga binaan harus diberdayakan untuk menciptakan nilai produktivitas agar jangan sampai mereka setelah keluar hanya jadi beban bagi negara. Dan pemerintah harus kreatif untuk meningkatkan produktivitas warga binaan pemasyarakatan. Hasil karya warga binaan pemasyarakatan harus bisa menghasilkan nilai ekonomis agar mereka menjadi aset yang bernilai manfaatnya bagi negara. Jadi dengan bertani atau beternak serta perikanan, cocok buat ketahanan pangan, syukur-syukur bisa menambah pemasukan bagi negara,” ujar Hadi.
Menurutnya, pendampingan dan monitoring secara rutin yang di lakukan pihak Lapas memastikan warga binaan memperoleh hasil maksimal hal ini menunjukkan komitmen Lapas dalam menciptakan program pembinaan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Ketua umum Gerakan Antinarkoba Nasional (GANNAS) menginisiasi adanya lapas mandiri dan berdaya guna mendukung Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran belanja negara.
"Lapas di Indonesia saat ini sudah overkapasitas sampai 300 persen, karena semua persoalan hukum baik ringan maupun berat dimasukkan ke dalam penjara. Untuk makan para tahanan saja, negara harus mengeluarkan sampai triliunan rupiah," ungkap Ketua Umum GANNAS I Nyoman Adi Peri,
Pria yang akrab disapa Nyoman itu mengatakan, di Indonesia tidak berlaku hukuman sosial seperti di negara lain, semua tindak pidana dimasukkan ke dalam penjara. Akhirnya, negara harus mengeluarkan kocek yang banyak untuk kehidupan di dalam penjara.
Dia menyebut saat ini jumlah narapidana di Indonesia hampir mencapai 300 ribu orang. Sementara jumlah lapas di seluruh Indonesia hanya sekitar 526.
"Konsep Lapas Mandiri dan Berdaya amat tepat bagi pemerintah yang tengah melakukan efisiensi anggaran bahkan kami dari GANNAS siap bekerjasama dengan Kementeri Imigrasi dan Permasyarakatan (Imipas) tahap awal GANNAS menyiapkan lahan seluas 34 hektar di Banten guna mendukung program ini. Sehingga ke depan, lapas bisa berkontribusi terhadap pendapatan negara," ujarnya
Sementara Direktur Hukum Daun Teduh Sherly Audina Catherine menyatakan bahwa semua Warga Binaan dalam lembaga pemasyarakatan baik itu kasus narkoba, korupsi maupun pidana umum (Pidum) semua sama di mata hukum saat menjalani hukumanan. Oleh karena itu pejabat atau petugas lembaga pemasyarakatan perlu memahami dan mengimplematasikan UU No. 12 Tahun 1995, serta UU No. 39 Tahun 1999, tentang Lembaga pemasyarakatan dalam melaksanakan fungsinya mendasarkan pada asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan pendidikan serta penghormatan harkat dan martabat manusia, karena warga binaan sebenarnya hanya kehilangan kebebasan sementara, tetapi mereka tidak kehilangan hak-hak yang lainnya.
"Saya mendukung konsep Lapas Mandiri, dimana konsep ini amat tepat dalam melibatkan Warga Binaan membiayai kebutuhan dirinya lewat kegiatan ekonomi, Warga Binaan yang menjadi beban negara kini mampu berkontribusi terhadap pendapatan negara. Jadi sudah saatnya hukum di Indonesia menjadi hukum untuk edukasi bukan hukum untuk efek jera seperti di Belanda sehingga penjara kosong dengan edukasi dan itu berhasil," ujar Sherly Audina. (Z-1)