Menolak Menyerah dan Bangkit Melawan PTM

4 hours ago 2
Menolak Menyerah dan Bangkit Melawan PTM Petugas kesehatan memeriksa telinga pasien saat cek kesehatan gratis di Puskesmas Mergangsan, Yogyakarta, Selasa (11/2/2025)(ANTARA/HENDRA NURDIYANSYAH)

FUNGSI tubuh yang terganggu akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) memang tidak main-main, seperti penyakit kardiovaskular atau jantung yang menyebabkan efek sesak napas, irama jantung yang tidak beraturan, hingga pembengkakan kaki. Kemudian penyakit strok yang membuat penderita sulit berbicara, sakit kepala yang hebat, bahkan bisa menyebabkan kehilangan kesadaran.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, 75 persen kematian di Indonesia diakibatkan karena penyakit tidak menular. Meski begitu, bukan berarti harapan hidup penderita juga pupus, mereka memiliki harapan dan semangat yang harus dijaga dan tidak boleh padam. Bangkit melawan penyakit memang sulit, namun itu satu-satunya jalan agar hidup lebih baik. 

Tidak ingin menyerah dan melawan balik PTM dilakukan Putri, 55, yang menderita hipertensi dan diabetes melitus selama bertahun-tahun. Tidak hanya itu, sang suami, Hasan, 58, juga ternyata menderita hipertensi bahkan baru diketahui beberapa bulan sebelum berangkat ibadah haji. Harapannya yang tinggi menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan pergi ke Tanah Suci harus diwarnai fakta bahwa dirinya ternyata mengalami hipertensi. Meski begitu ia merasa kuat dan tetap melanjutkan untuk berangkat menunaikan rukun Islam ke-5.

"Saya dengan suami saya berjuang hidup dari PTM bertahun-tahun. Suami saya baru ketahuan hipertensi saat pemeriksaan kesehatan menjelang keberangkatan haji. Tapi Alhamdulillah berangkat dan pulang sehat," kata Putri saat ditemui, Senin (11/5).

Putri dengan tegas menolak menyerah melawan PTM meski sudah hidup dengan hipertensi dan diabetes melitus, ia tidak ingin kalah dengan penyakitnya. Termasuk peran sang suami, meski sama-sama mengalami hipertensi mereka saling menguatkan.

Fungsi tubuh terbatas

Hipertensi dan diabetes melitus membuat fungsi tubuh Putri menjadi terbatas. Kakinya seringkali membiru atau merah jika terlalu banyak beraktivitas. Jangankan berlari atau berjalan jauh, terlalu lama berdiri saja ia sudah tak sanggup. Sementara sang suami, juga tidak bisa beraktivitas secara maksimal karena mudah lelah dan perlu minum obat setiap hari.

"Tidak ada pilihan selain menguatkan satu sama lain. Peran keluarga yang selalu membuat bahagia itu sangat penting agar ada harapan. Kemudian akses obat dan fasilitas kesehatan harus tersedia, apalagi saya dan suami harus minum obat setiap hari," ujarnya. 

Obat yang dikonsumsi setiap pagi dan malam hari. Setiap pagi ia dan suaminya mengonsumsi acarbose, velacom plus2/500, dan comveran 10/10. Kemudian pada malam hari minum carbose, clopidogrel bisulfat, dan nistrol.

Putri menyadari meski fisik sudah mulai terbatas. Namun ia dan suaminya merasa sangat beruntung bisa membeli obat dan mengonsumsinya setiap hari. Dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib orang lain yang tidak seberuntung mereka, yang hanya bisa menahan diri atau yang tidak bisa atau terbatas mengakses fasilitas kesehatan. 

Alhasil banyak dari mereka yang lebih memilih menyerah dan angka kematian akibat PTM pun meningkat.

Sosialisasi Ekstra

Sementara itu, Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih mengungkapkan PTM seperti diabetes, hipertensi, jantung, kanker, ataupun gangguan pernapasan memang sangat memungkinkan untuk dicegah. 

Meski begitu, prosesnya tidaklah mudah lantaran status kesehatan masyarakat banyak dipengaruhi oleh determinan sosial dan komersial, mulai dari gaya hidup, pola makan, lingkungan hingga paparan terhadap produk tembakau dan minuman tinggi gula.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat beberapa faktor risiko yang meningkatkan potensi seseorang mengalami PTM, seperti perilaku merokok, kurang konsumsi sayur dan buah, pola konsumsi makanan tidak sehat, pola konsumsi minuman beralkohol, kurangnya aktivitas fisik, hingga minimnya aktivitas cek kesehatan berkala.

Sebagai contoh, data SKI 2023 menunjukkan sekitar 22,3–22,6% penduduk berusia di atas 10 tahun merokok setiap hari. Survei yang sama juga mencatat kebiasaan makan yang berisiko. Sebanyak 56,2% penduduk usia di atas 3 tahun menyantap makanan manis 1–6 kali per minggu. Selain itu, 5,2% penduduk mengonsumsi makanan asin dan 51,7% mengonsumsi makanan berlemak, makanan berkolesterol tinggi, atau gorengan dengan frekuensi yang sama.

"Dalam konteks ini, upaya promotif dan preventif dalam bentuk edukasi saja tidaklah cukup. Pemerintah juga perlu membatasi kemudahan akses masyarakat ke faktor risiko penyebab PTM. Untuk menekan konsumsi rokok masyarakat, pemerintah mesti menaikkan cukai rokok secara progresif setiap tahun," kata Diah.

Cukai Rokok

Diah menjelaskan cukai rokok bisa mnejadi salah satu alternatif untuk mengatasi PTM. Kenaikan cukai akan secara signifikan mendongkrak harga rokok, sehingga makin sulit dijangkau terutama oleh perokok remaja. Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) juga dapat ditekan lewat penerapan cukai. 

Riset CISDI pada 2024 menunjukkan pengenaan cukai sebesar 20% untuk MBDK akan menurunkan insidensi dan angka kematian akibat diabetes melitus tipe 2 secara signifikan hingga tahun 2033. Dari sisi masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran memeriksakan kesehatan secara berkala dapat dilakukan dengan cek kesehatan. 

"Masyarakat dapat memanfaatkan Program Cek Kesehatan Gratis yang saat ini dijalankan pemerintah. Dengan memeriksakan kesehatan secara rutin, potensi adanya penyakit dapat dideteksi sejak dini sehingga bisa ditangani lebih awal," ungkap Diah.

Rehabilitasi PTM

Rumah sakit vertikal yang berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan memang memiliki beberapa program untuk upaya rehabilitasi pasien PTM. Contohnya seperti rehabilitasi penyakit jantung, diabetes, hingga stroke. Pada umumnya, program itu memang mencakup latihan fisik terkontrol, edukasi gizi, manajemen stres, hingga pemantauan berkala.

Diah menjelaskan program-program rehabilitasi umumnya memang didanai oleh APBN dan jaminan kesehatan nasional sehingga bisa diakses dengan biaya minimum. Namun, jumlah rumah sakit vertikal tentu saja terbatas dan memiliki distribusi yang timpang antara di Pulau Jawa dengan pulau-pulau lain. 

"Keterbatasan akses ke rumah sakit tentu juga berpengaruh terhadap akses ke layanan rehabilitasi PTM. Sebenarnya saat ini banyak puskesmas yang telah memiliki layanan rehabilitatif dasar, seperti melalui kegiatan senam lansia, senam diabetes,
konseling gizi, hingga kegiatan komunitas," jelas Diah.

"Umumnya, program-program tersebut merupakan bagian dari Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang difasilitasi oleh dinas kesehatan setempat," sambungnya.

Selain itu, masyarakat juga bisa mengakses Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu) yang dikelola kader kesehatan di tingkat RT dan RW. Kegiatan tersebut umumnya berfokus pada upaya deteksi dini dan pemantauan kesehatan. Meski begitu, kesiapan puskesmas, tenaga kesehatan, ataupun kader kesehatan sangat ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah sehingga sangat mungkin terjadi ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lain.

Bangkitkan Semangat Penderita

Seseorang yang mengidap PTM umumnya akan terdampak kehidupan sosialnya. Karakteristik PTM yang cenderung bersifat kronis dan berangsur-angsur menurunkan kualitas hidup pengidapnya. Penyakit-penyakit kronis umumnya mengharuskan konsumsi obat dalam jangka panjang dan perubahan gaya hidup secara drastis yang kerap dianggap tidak lazim oleh masyarakat. 

"Kebijakan untuk membangkitkan semangat bagi penderita PTM baiknya juga menyentuh aspek psikososial dan berdasarkan pada dukungan komunitas," ucapnya.

Beberapa upaya bisa dilakukan, seperti memasukkan layanan konseling psikologis dalam paket dukungan mental dan emosional yang difasilitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama bagi mereka yang mengidap PTM kronis, seperti diabetes atau strok. 

Di tingkat komunitas, pemerintah bisa mengoptimalkan peran posbindu dan kader kesehatan agar masyarakat bisa memeriksakan kesehatan secara rutin sekaligus mendapatkan emotional support group dan support system dari komunitasnya.

Namun, upaya tersebut perlu didukung investasi yang memadai, dimulai dari meningkatkan keterampilan kader kesehatan, memberikan mereka insentif yang layak, dan membimbing mereka secara konsisten.

"Di samping itu, pemerintah juga perlu memperbanyak program rekreasi berbasis warga, seperti melalui senam lansia hingga senam diabetes," sebutnya.

CKG sebagai Alternatif

Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) telah diimplementasi di mana salah satunya melakukan skrining kesehatan ginjal. Pasien dengan diabetes, hipertensi, obesitas dan dislipidemia merupakan target untuk dilakukan skrining kesehatan ginjal ini.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menjelaskan kebijakan deteksi dini untuk individu yang berisiko harus diterapkan secara nasional untuk mengurangi biaya perawatan kesehatan terkait gagal ginjal dan meningkatkan kualitas hidup.

"Klinisi pada layanan primer dan petugas kesehatan garis depan harus dilatih untuk mengintegrasikan beberapa pemeriksaan untuk CGK ke dalam perawatan rutin bagi populasi berisiko tinggi, bahkan ketika waktu dan sumber daya terbatas," ujarnya.

Meski belum genap satu tahun dan perlu banyak perbaikan. Program CKG menjadi alternatif yang tepat untuk masyarakat sadar akan kesehatannya bahkan mampu mencegah terjadinya PTM. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |