Industri Perhotelan masih Babak Belur

2 hours ago 1
Industri Perhotelan masih Babak Belur Ilustrasi(Antara)

Libur panjang Waisak pada 9–13 Mei 2025 tidak mampu mendorong lonjakan signifikan pada okupansi hotel. Meskipun terjadi peningkatan pada tanggal 9 dan 10 Mei, tingkat keterisian kamar secara nasional justru turun dibandingkan libur panjang dengan jumlah hari yang sama tahun lalu.

"Kalau kita lihat dari long weekend-nya saja, okupansinya memang naik, tapi lebih rendah dari tahun lalu," kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani saat dihubungi, Senin (12/5). 

Menurutnya, penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk melemahnya daya beli masyarakat dan pergeseran pola konsumsi akomodasi. Banyak wisatawan, terutama di daerah seperti Bali, memilih tinggal di vila-vila sewaan berbasis sharing economy yang tidak tercatat secara resmi dalam data perhotelan.

"Penerbangannya banyak, tapi mereka kebanyakan tinggal di vila-vila yang tidak terdeteksi, yang boleh dibilang ilegal karena tidak berizin menjual jasa akomodasi seperti hotel," ujar Hariyadi.

Kondisi ini berdampak langsung pada pendapatan hotel. Dengan tingkat okupansi yang menurun, sektor pariwisata terutama perhotelan mengalami penurunan pendapatan dan melakukan penyesuaian tenaga kerja.

"Pendapatan pasti turun. Karena okupansinya turun, otomatis jumlah karyawan juga disesuaikan," tambah Hariyadi. 

Hariyadi menyebut sekitar 50% pekerja di sektor perhotelan telah terdampak, baik pekerja harian maupun kontrak. Banyak kontrak kerja yang tidak diperpanjang, dan jam kerja pun dipangkas sambil menunggu kondisi membaik. Tak hanya itu, beberapa hotel juga terpaksa menutup sementara operasional mereka karena tidak mampu bertahan.

"Ada beberapa yang tutup. Tapi tutupnya itu sifatnya sementara, menyesuaikan kondisi pasar," kata Hariyadi.

Ia menilai lambatnya eksekusi belanja pemerintah juga memperburuk kondisi industri. Selama kuartal pertama tahun ini, belanja pemerintah disebut nyaris tidak berjalan. Jika tidak segera dikejar pada kuartal kedua, penurunan kinerja industri perhotelan akan makin dalam.

"Kalau pemerintah telat lagi ekskusi belanjanya, itu bisa sampai 40% turunnya dari tahun lalu (penurunan okupansinya) Tapi kalau segera dijalankan, penurunan bisa ditekan di angka 20–30%," jelasnya.

PHRI juga menyampaikan harapan agar pemerintah daerah lebih aktif mengawasi akomodasi ilegal seperti vila tanpa izin, yang dinilai merugikan pendapatan daerah.

"Mereka tidak bayar pajak daerah jadi harusnya pemerintah daerah yang mengawasi. Sayangnya banyak yang lemah pengawasannya, seperti di Bali," tutur Hariyadi. 

Sementara itu, untuk mendorong pemulihan sektor, Hariyadi menilai strategi paling realistis adalah percepatan realisasi belanja pemerintah. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |