
MENURUT data Global Cancer Incidence, Mortality and Prevalence (Globocan), kanker ovarium adalah kanker ketiga tersering pada wanita Indonesia, dengan 14.896 kasus baru dan 9.581 kematian pada tahun 2020.
Kanker ovarium paling sering menyerang wanita usia pascamenopause, terutama pada rentang usia 50 hingga 70 tahun. Ini adalah kanker ginekologi dengan angka kematian tertinggi, dengan tingkat kelangsungan hidup lima tahun hanya sekitar 43%.
Secara global, kanker ovarium menduduki posisi kelima penyebab kematian pada wanita, dengan estimasi 295.414 kasus baru dan 184.799 kematian pada tahun 2018. Insidensi tertinggi tercatat di negara maju, seperti Eropa dan Amerika Utara. Namun, angka kematian tertinggi justru ditemukan di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, akibat keterlambatan diagnosis dan terbatasnya akses pengobatan.
Faktor risiko utama kanker ovarium meliputi usia (terutama setelah menopause), riwayat keluarga, mutasi genetik (seperti BRCA1/BRCA2), nulliparitas (belum pernah melahirkan), endometriosis, dan penggunaan terapi hormon jangka panjang. Sebaliknya, penggunaan kontrasepsi oral, menyusui, dan tindakan sterilisasi (seperti tubektomi) dapat memberikan perlindungan.
Tantangan terbesar dalam penanganan kanker ovarium adalah kurangnya metode skrining yang efektif dan gejala yang tidak spesifik. Hal ini menyebabkan sekitar 70% kasus terdiagnosis pada stadium lanjut (III/IV). Ketimpangan geografis dalam insidensi dan mortalitas kanker ovarium mencerminkan ketidakmerataan akses layanan kesehatan, terutama di negara berkembang yang terbatas dalam hal teknologi diagnostik.
Hingga kini, belum ada metode skrining standar untuk mendeteksi kanker ovarium secara dini. Namun, deteksi dini dapat dilakukan melalui pemeriksaan ginekologi, USG transvaginal, pemeriksaan tumor marker (Ca 125 secara serial), serta pemeriksaan gen BRCA1/BRCA2 pada individu dengan risiko tinggi.
Diagnosis kanker ovarium biasanya ditegakkan melalui pemeriksaan ginekologis dan USG yang mengidentifikasi tumor ovarium, peningkatan kadar CA 125 > 35 IU/ml, serta pemeriksaan histopatologi yang mengonfirmasi kanker ovarium.
Setelah diagnosis ditegakkan, pengobatan umumnya dimulai dengan operasi pengangkatan massa tumor dan organ terkait untuk penentuan staging, diikuti dengan kemoterapi menggunakan obat anti-kanker (sitostatika) untuk membunuh sel-sel kanker.
Setelah operasi, pasien kanker ovarium harus menjaga perawatan luka pascaoperasi, dengan mengonsumsi makanan tinggi kalori dan protein, menjaga luka tetap kering, menjaga kebersihan tubuh, mengamati tanda-tanda infeksi, serta mengikuti pengobatan secara teratur sesuai anjuran dokter.
Selama menjalani kemoterapi, pasien perlu menjaga pola makan sehat dan bergizi seimbang, menghindari makanan atau minuman berkafein dan kolesterol tinggi, cukup beristirahat, mengelola stres, banyak minum air putih, dan rutin mengikuti jadwal pengobatan. (Dovepress, Pubmed Central, Kementerian Kesehatan/Z-10)