
JIKA bantuan mendesak tidak segera datang, lebih dari 150 anak rentan di Sumbawa,Indonesia, mungkin tidak punya pilihan selain tidur di lantai rumah baru mereka. Pusat Kesejahteraan Anak Peduli Anak, proyek yang telah dikerjakan hampir lima tahun, kini 95%telah rampung.
Ruang kelas sudah siap, para ibu asuh telah dilatih, dan dua belas rumahindah berdiri kokoh. Namun sayangnya, semua rumah itu belum dilengkapi perabotan. Tanpa ranjang susun dan perlengkapan penting lainnya, fasilitas ini masih belum siap digunakan sepenuhnya.
Hampir 20 tahun lalu, Chaim Joel Fetter adalah seorang pengusaha internet sukses di Belanda. Namun,satu momen mengubah segalanya. Saat bepergian melakukan perjalanan backpacking diLombok pada tahun 2004, ia bertemu Adi, seorang anak laki-laki bertelanjang kaki yang mengemis di lampu merah. Adi telah kehilangan kedua orang tuanya dan tinggal sendirian dibawah selembar terpal.
"Saat itu hati ini seperti ditinju," kenang Fetter.
"Saya tidak bisa melupakannya saat pulang ke rumah. Apa artinya kesuksesan yang saya genggam kalau masih ada anak-anak seperti Adi yang menderita?" lanjutnya.
Sangat tergerak, ia kembali ke Belanda, menjual perusahaannya, dan kembali ke Indonesia,bukan untuk cuti panjang, tetapi demi sebuah misi. Ia memeluk Islam, terinspirasi oleh kemurahan hati dan kehangatan orang-orang yang ditemuinya.
“Bahkan keluarga yang sangat miskin berbagi sedikit dari apa yang mereka miliki,” ujarnya.
“Masuk Islam rasanya seperti menemukan keluarga dan makna hidup yang lebih dalam," katanya.
Namun, motivasi Fetter tidak semata-mata terinspirasi dari apa yang ia lihat, melainkan berakar dari pengalaman hidupnya sendiri. Setelah orang tuanya bercerai, ia ditempatkan di panti asuhan di Belanda saat berumur enam tahun.
“Saya tahu rasanya menjadi anak yang tidak dipedulikan siapa pun,” katanya.
“Perasaan diabaikan itu tidak pernah benar-benar hilang. Saya masih sering mimpi buruk, memimpikan saat orang tua saya meninggalkan saya di sana, dan saya berlari mengejar mereka. Saya bertekad untuk membangun tempat dimana anak-anak bisa pulih, disayangi, dan merasa seperti di rumah,” sambungnya.
Pada tahun 2006, ia bersama istri dan beberapa teman dekat mendirikan Yayasan Peduli Anak dan membuka Pusat Kesejahteraan Anak pertama di Lombok. Dibangun di atas lahan seluas 2,2 hektar, fasilitas ini mencakup 14 rumah berkonsep keluarga, sebuah masjid,sekolah dasar dan menengah pertama, klinik kesehatan, lapangan olahraga, dan kebun organik.
Setiap rumah diasuh oleh seorang ibu asuh terlatih, menciptakan lingkungan keluarga yang stabil dan penuh kasih sayang. Sejak saat itu, Yayasan Peduli Anak telah mendukung ribuan anak.
Banyak di antara mereka yang telah lulus kuliah dan kembali bekerja di pusat ini sebagai guru, konselor, perawat, dan akuntan. Yayasan ini telah meraih berbagai penghargaan nasional, termasuk Kick Andy Heroes Award dan Piagam Apresiasidari Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Pada tahun 2019, seiring dengan meningkatnya permintaan dan mencuatnya kisah anak terlantar di daerah terpencil, Yayasan Peduli Anak memperluas misinya ke Sumbawa,sebuah pulau tertinggal dengan akses layanan pemerintah yang sangat terbatas dan penelantaran anak merupakan hal tragis yang sayangnya lumrah terjadi.
"Ini sangat memilukan," ujar Fetter.
"Kami mendengar kisah anak-anak yang ditinggalkan karena orangtuanya menikah lagi atau pergi merantau untuk bekerja. Ada yang tidur di gubuk terbengkalai. Bahkan, ada yang tidak makan berhari-hari," ungkapnya.
Meskipun menghadapi tantangan logistik besar dalam mengangkut material dari Lombok dan Jawa, serta berbagai hambatan akibat pandemi COVID-19, tim terus bertahan dan tidakmenyerah. Kini, berkat donasi dari masyarakat dan perusahaan swasta, Pusat Kesejahteraan Anak di Sumbawa hampir rampung.
Ini bukan penampungan biasa. Ini adalah sebuah desa anak yang sepenuhnya mandiri,dengan dua belas rumah, sekolah, masjid, klinik kesehatan, sport center, dapur yang mampu menyiapkan 900 porsi makanan setiap hari, dan kebun organik yang menyediakan buah serta sayuran segar untuk anak-anak.
Fasilitas ini akan menyediakan perawatan menyeluruh bagi 300 anak, termasuk 150 anak yang tinggal penuh waktu dan 150 siswa harian dari desa-desa miskin di sekitarnya.
Pusat Kesejahteraan Anak ini juga akan mempekerjakan staf lokal, membeli hasil panen petani sekitar, dan menciptakan efek berantai bagi perekonomian setempat.
Namun saat ini, belum ada satu pun rumah yang dilengkapi perabotan. Tanpa ranjang, 150 anak yang telah dirujuk belum bisa menempati rumah-rumah tersebut. Mereka tetap berada dalam bahaya, tidur di lingkungan yang tidak stabil dan tidak aman, sementara dua belas rumah indah masih kosong dan belum bisa dihuni.
Seperti Obi, 13 tahun, yang terpaksa putus sekolah setelah ayahnya meninggal. Kini ia bekerja di bengkel pemotongan kaca tanpa perlengkapan pelindung, berusaha untuk menghidupi ibu dan adiknya. Ia dan adiknya menderita infeksi kulit yang tidak pernah diobati.
Ada juga Ray, 11 tahun, yang tidur di atas tikar dalam gubuk terbengkalai. Ia harus mengais makanan dan mengetuk pintu tetangga demi sisa makanan. Obi masih bisa tinggal bersama keluarganya jika ia menerima dukungan harian untuk memenuhi kebutuhan makan,pendidikan bagi dirinya dan adiknya, serta biaya perawatan kesehatan mereka. Sementara Ray, yang sebatang kara, bisa tinggal penuh waktu di Pusat Kesejahteraan Anak.
"Ada 150 anak seperti Obi dan Ray yang sudah menunggu untuk tinggal di pusat ini, 150 anak lainnya dari desa sekitar siap untuk bersekolah dan makan bersama kami setiap hari," ungkap Fetter.
Hingga kini, lebih dari 8.000 orang Indonesia telah berdonasi. Anak-anak sekolah mengadakan penggalangan dana dengan menjual aksesori buatan mereka, seperti gelangdan kalung dari manik-manik.
Banyak masyarakat turut menyumbang setelah mengetahuimisi kami melalui media sosial. Beberapa pemilik usaha lokal juga menyelenggarakan acara penggalangan dana.
"Ini telah menjadi proyek milik bersama. Bahkan orang-orang yang belum pernah ke Sumbawa ikut menyumbang, karena mereka percaya pada apa yang sedang kami lakukan," kata Fetter.
Sejumlah mitra besar juga bergabung. ING Bank, PT Bayan Resources, TOTO, Signify,Broco, Avian Paints, Simu, dan Häfele turut berkontribusi melalui donasi meja belajar,material bangunan, dan pendanaan. Banyak perusahaan Indonesia lainnya juga telah membantu, meski tidak semua bisa kami sebutkan. Namun, masih ada satu rintangan terakhir yang harus diatasi.
Awal bulan ini, Fetter menulis email secara pribadi kepada CEO IKEA Indonesia, Bapak Adrian Worth, serta kepada Electrolux Professional, untuk menyampaikan harapan akan kemungkinan dukungan.
Electrolux merespons dengan positif atas permintaan peralatan dapur profesional, yang akan sangat membantu dalam menyiapkan makanan untuk anak-anak setiap hari. Sementara itu, dari CEO IKEA Indonesia, kami masih menantikan kabar lebih lanjut.
“Kami sangat menghargai kepedulian IKEA, khususnya saat mereka memberikan dukungan yang luar biasa setelah gempa Lombok tahun 2018,” ujar Fetter.
“Dukungan itu sangat berarti bagi kami dan anak-anak di Lombok, dan kami percaya semangat tersebut tetap hidup hingga kini. Adapun untuk yang di Sumbawa ini ,kami berharap IKEA bisa memberikan harga dasar bagi kami untuk bisa membeli ranjang, lemari dan perabot lainnya yang dibutuhkan," katanya.
Bagi Chaim Fetter ini bukan hanya tentang Sumbawa,ia melihat Pusat Kesejahteraan Anak ini sebagai cetak biru berskala nasional.
"Jika kami bisa membuktikan ini berhasil," katanya.
"Maka pendekatan ini bisa direplikasi oleh LSM, komunitas, bahkan pemerintah. Mungkin suatu hari nanti, tidak ada lagi anak Indonesia yang harus tidur di lantai, putus sekolah, atau mengalami kekerasan dan penelantaran," sambungnya.
Dengan peresmian yang tinggal beberapa bulan lagi, hanya satu dorongan terakhir memisahkan visi ini dan kenyataan.
"Bangunannya sudah berdiri. Anak-anak sedang menanti," ungkap Fetter.
"Yang kurang hanyalah satu tindakan kecil penuh kebaikan: tempat tidur untuk anak-anak," tambahnya.
Untuk berkontribusi, membagikan cerita ini, atau bermitra dengan yayasan, kunjungi pedulianak.org. Baik melalui pendanaan, perlengkapan, atau sekadar menyebarkan informasi, setiap tindakan membantu membuka pintu menuju masa depan baru bagi anak-anak ini.
"Ini bukan sekadar amal," ujar Fetter. "Ini tentang martabat. Ini tentang pemulihan. Ini adalah masa kecil yang sesungguhnya, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup mereka." (Adv)