Memburu 'Emas Putih': Petualangan Geofisika Menelusuri Jejak Hidrogen di Perut Bumi

4 hours ago 2
 Petualangan Geofisika Menelusuri Jejak Hidrogen di Perut Bumi Luthfie Eka Surya Kelana, mahasiswa Fakultas Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung(DOK PRIBADI)

KEBERADAAN bahan bakar hidrogen memberikan secercah harapan baru bagi dunia karena mempunyai potensi untuk menghasilkan energi bersih tanpa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak lingkungan. Hasil pembakaran hidrogen yang hanya menghasilkan panas dan air murni berpotensi menjadi pengganti bahan bakar minyak (BBM).

Dalam produksinya, hidrogen memerlukan energi dan biaya yang besar. Merujuk pada laporan Indonesia Hydrogen Roadmap yang diterbitkan oleh Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE), Indonesia telah memantapkan tujuan untuk memanfaatkan hidrogen hijau, amonia, serta penangkapan dan penyimpanan karbon untuk mengurangi jejak karbonnya dan menargetkan penggunaan hidrogen sebagai alternatif kebutuhan di masa depan.

Dalam pemanfaatan energi hidrogen untuk menghasilkan energi listrik, para insinyur telah membuat sel bahan bakar (fuel cell) hidrogen yang di sel tersebut terjadi pengikatan hidrogen dan oksigen untuk menghasilkan air sehingga menghasilkan listrik dalam prosesnya. 

Gambar 1. Skema kerja fuel cell hidrogen (USGS, 2023)


Bagaimana hidrogen bisa dihasilkan secara alami oleh alam?

Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli geosains menemukan bahwa pada batuan terdapat hidrogen alami. Hidrogen dalam batuan dapat dihasilkan dari proses yang dikenal sebagai serpentinisasi. Proses ini merupakan proses metamorfik yang melibatkan reaksi batuan ultramafik dengan air pada suhu dan tekanan rendah untuk menghasilkan mineral serpentine dan gas hidrogen (Joseph, 2023). Gas hidrogen yang dihasilkan akan terperangkap di dalam batuan.

Batuan ultramafik tersebut merupakan bagian dari seri ofiolit, yaitu fosil kerak samudra yang terangkat ke permukaan akibat adanya proses tektonik.
Selama proses serpentinisasi, air laut atau air tawar masuk ke dalam celah-celah kerak bumi, tempat air tersebut bereaksi dengan batuan ultramafik.

Selama reaksi Fe2+, dalam olivin dioksidasi oleh air menjadi Fe3+ dan menghasilkan oksida besi dalam serpentinit dan magnetit (Fe3O4), serta gas hidrogen (reduktor yang dapat berdifusi). Proses reduksi ini mengubah air menjadi gas hidrogen, serta karbondioksida menjadi format, metana, dan senyawa organik lainnya. Proses serpentinisasi yang terjadi dalam peridotit dasar laut diperkirakan difasilitasi oleh sirkulasi air laut dan keluaran kimia dari sistem hidrotermal yang berada di lapisan ultrabasa, contohnya di Atlantis Massif (Ludwig, 2006).


Gambar 2. Proses serpentinisasi (Preiner, 2023)

Bagaimana perkembangan hidrogen geologi di Indonesia?

Sulawesi Tengah memiliki persebaran batuan ultramafik terbanyak di Indonesia. Badan Geologi pada  Oktober 2023 melakukan penelitian di daerah One Pute Jaya, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, untuk mengidentifikasi potensi hidrogen alami. Hasil penelitian ini menemukan adanya tempat wisata air panas yang mengandung gas hidrogen di permukaannya. Gelembung-gelembung gas yang muncul di kolam mata air tersebut adalah gas hidrogen yang berasal dari proses serpentinisasi. Munculnya gas hidrogen ini diperkirakan berhubungan dengan adanya patahan Matano yang menjadi jalur migrasi gas ke permukaan.

Apa yang dapat geofisika lakukan?

Sebagai konsekuensi dari proses serpentinisasi, sifat magnetik dan fisik formasi batuan berubah. Peningkatan kerentanan magnetik disebabkan oleh pembentukan mineral magnetit. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa magnetisasi tinggi merupakan penanda dari proses serpentinisasi. Anomali ini muncul akibat hidrasi peridotit mantel yang tersingkap di berbagai tatanan tektonik.

Penurunan densitas juga merupakan konsekuensi dari serpentinisasi. Proses ini menciptakan rekahan dan ruang pori yang meningkatkan volume batuan dan/atau menyebabkan perpindahan massa saat batuan induk bertransformasi menjadi serpentinit (Andreani, 2007).

Eksperimen seismik skala kerak telah mengungkapkan bahwa penurunan kecepatan seismik yang teramati dapat dijelaskan oleh proses serpentinisasi di kerak, yang mencerminkan densitas serpentinit yang relatif rendah (Kerrick & Connolly, 2001). Selain itu, peridotit yang mengalami serpentinisasi menunjukkan resistivitas listrik yang lebih rendah dibandingkan peridotit segar akibat porositasnya yang lebih tinggi. Respons konduktif ini membantu dalam identifikasi kerak serpentinit yang retak atau jenuh fluida.

Berdasarkan perubahan pada parameter-parameter fisika ini, para geofisikawan diharapkan mampu melakukan eksplorasi batuan ultramafik yang berpotensi menghasilkan hidrogen alami untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.

Referensi

Andreani, M. (2007). Dynamic control on serpentine crystallization in veins: Constraints on hydration processes in oceanic peridotites. Geochemistry, Geophysics, and Geosystem.

Badan Geologi Temukan Hidrogen Alami di Sulawesi Tengah. (n.d.). ESDM. https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/badan-geologi-temukan-hidrogen-alami-di-sulawesi-tengah

Dewi, E. L., Aziz, M., Devianto, H., Darmawan, A., Arjasa, O. P. A., Primeia, S. P., Kurniawan, K., IFHE, & BRIN. (2023). INDONESIA HIDROGEN ROADMAP (O. P. A. Arjasa, K. Kurniawan, & E. L. Dewi, Eds.). IFHE Press.

Joseph, A. (2023). Biosignatures—The prime targets in the search for life beyond Earth. Water Worlds in the Solar System, 167-200.

Kerrick, & Connolly. (2001). Metamorphic devolatilization of subducted oceanic metabasalts: Implications for seismicity, arc. Earth and Planetary Science Letters, 19-29.

Ludwig, K. A. (2006). Formation and evolution of carbonate chimneys at the Lost City Hydrothermal Field. Geochimica et Cosmochimica Acta, 3625-3645.

Preiner, M. (2023). Ambient temperature CO2 fixation to pyruvate and subsequently to citramalate over iron and nickel nanoparticles. Nature Communications.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |