
LOBOTOMI merupakan salah satu praktik medis yang paling kontroversial dalam sejarah pengobatan jiwa. Di tengah pertengahan abad ke-20, prosedur ini nyaris dianggap sebagai “keajaiban” dalam dunia psikiatri.
Seiring berjalannya waktu, terbongkar realitas pahit: ribuan pasien mengalami efek samping serius, hingga kehilangan fungsi normal dalam kehidupan mereka. Saat ini, lobotomi telah ditinggalkan dan dikenang sebagai bagian kelam dalam sejarah medis.
Lobotomi adalah prosedur bedah otak yang bertujuan memutus serat saraf antara lobus frontal dan bagian lain dari otak. Pertama kali dilakukan dokter saraf asal Portugal, António Egas Moniz, tahun 1935, Moniz meyakini emosi yang tidak stabil pada pasien gangguan jiwa berasal dari sambungan saraf di otak, dan pemutusan tersebut dapat memberikan ketenangan
Di Amerika Serikat, psikiater Walter Freeman berperan besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan prosedur ini. Bersama rekannya James W. Watts, Freeman memperkenalkan metode lobotomi transorbital—yang juga dikenal sebagai “ice pick lobotomy”—di mana alat seperti paku es dimasukkan melalui rongga mata untuk memotong sambungan saraf otak. Prosedur ini hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit dan dilakukan tanpa pembiusan total
Puncak praktik lobotomi berlangsung antara tahun 1940 dan 1950-an di Amerika dan Eropa, dengan lebih dari 40. 000 prosedur diperkirakan dilakukan di Amerika Serikat. Banyak pasien gangguan jiwa, termasuk anak-anak dan individu dengan gangguan ringan, menjadi korban dari praktik ini. Dalam banyak kasus, lobotomi mengakibatkan pasien kehilangan kepribadian, daya ingat, kemampuan berbicara, dan berakhir dalam keadaan apatis seumur hidup
Seiring perkembangan ilmu kedokteran, berbagai penelitian menunjukkan bahwa lobotomi lebih banyak membawa efek merugikan dibandingkan manfaat. Banyak pasien mengalami komplikasi serius, seperti kejang, infeksi, kehilangan fungsi otak, bahkan kematian. Lebih jauh lagi, prosedur ini sering kali dilakukan tanpa persetujuan sadar dari pasien, sehingga melanggar etika medis.
Perkenalan obat antipsikotik seperti klorpromazin pada awal 1950-an menjadi titik balik yang signifikan. Obat-obatan ini terbukti lebih efektif, lebih aman, dan tidak melibatkan risiko pembedahan otak. Selain itu, penggunaan terapi psikologis dan pendekatan multidisiplin dalam psikiatri juga turut mendorong pengakhiran praktik lobotomi
Saat ini, lobotomi dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam praktik kedokteran. Banyak negara secara resmi melarang prosedur ini. Selain alasan medis, masyarakat kini semakin menyadari pentingnya hak pasien, prinsip informed consent, dan perlunya pendekatan yang manusiawi dalam menangani gangguan jiwa.
Lobotomi bukan sekadar kegagalan medis, tetapi juga mencerminkan betapa pentingnya etika dan ilmu pengetahuan berjalan seiring. Dari yang semula dianggap “ajaib” hingga berubah menjadi “mengerikan,” lobotomi menjadi pengingat bahwa tidak semua inovasi harus dilihat sebagai solusi, terutama jika mengabaikan aspek kemanusiaan. (hellosehat/allodokter/nationalgeograpic/Z-2)