
HAKIKAT puasa bukan hanya menahan lapar, dahaga, dan berhubungan suami-istri. Yang teramat penting ialah sebagai latihan rohani (spiritual exercises) untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan. Nabi Muhammad SAW menegaskan: Takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Al-Qur'an menyebutkan, huwa yuth’im wa la yuth’am (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan) [QS Al-An’am/6:14] dan lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan) [QS Al-An’am/6:101].
Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks? Sebaliknya, kita diwajibkan berzakat fitrah, yakni memberi makan kepada orang yang butuh. Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar kita mencapai kualitas muttaqin (QS Al-Baqarah/2:183). Predikat muttaqin ditentukan seberapa banyak seseorang menginternalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Akhlak Tuhan dapat dikenal melalui sifat-sifat-Nya sebagaimana tergambar dalam nama-nama indah-Nya (al-asma` al-Husna). Ibarat seuntai tasbih, nama-nama indah itu berjumlah 99, dimulai dari lafdh al-jalalah (Allah), dengan simbol angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan. Disusul dengan al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Lathif (Maha Lembut), al-Jamal (Maha Indah), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabur (Maha Penyabar), dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafdh al-jalalah).
Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, melainkan juga menjadi titik masuk untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut.
Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Tobat), sehingga ia tetap mempunyai harapan dan tak kehilangan semangat hidup.
Bukankah di antara 99 nama itu, sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan? Bukankah pada setiap surah dalam Al-Qur'an selalu diawali dengan Bismillah al-rahman al-rahim, yang intinya menonjolkan kemahapengasihan (rahmaniyyah) dan kemahapenyayangan (rahimiyyah) Tuhan?
Di antara bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugerahkan bulan Ramadan (secara harfiah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hamba-Nya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka dalam bulan Ramadan ini kita diajak kembali ke kampung halaman rohani, yang basah dan menyejukkan, serta penuh dengan suasana lembut (nurturing).
Bulan Ramadan ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu. Ramadan adalah manifestasi dari rahmat rahmaniyah dan rahmat rahimiyah-Nya. Allah SWT memiliki kesempurnaan, antara lain tecermin dari keutuhan dua sifat sejati dalam diri-Nya, yaitu maskulinitas (The Masculine God) dan femininitas (The Feminine God). Di antara 99 nama-nama indah-Nya, yang lebih dominan ialah sifat-sifat femininitas. Ini mengisyaratkan bahwa Tuhan lebih dominan sebagai pengasih dan penyayang daripada pemurka dan pendendam.
Seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat imanen, dekat, dominan, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti. Sebaliknya, seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, berserah diri, struggeling, dan menakutkan. Tuhan yang sesungguhnya tak terbatasi oleh kategori dan persepsi hamba-Nya.