
PAKAR hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan dugaan praktik politik uang dan ketidaknetralan penyelenggara yang kembali terlihat dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada, berpotensi menjadi pintu masuk untuk kembali menggugat hasil PSU ke Mahkamah Konstitusi.
“Mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi adalah hak konstitusional setiap pasangan calon karena itu adalah mekanisme yang telah disediakan UU Pilkada bagi para pihak yang ingin mempersoalkan hasil perolehan suara pilkada yang ditetapkan KPU,” kata Titi kepada Media Indonesia pada Senin (21/4).
Menanggapi adanya 7 PSU yang kembali digugat oleh peserta pilkada, Titi menekankan KPU dan Bawaslu harus bisa memastikan bahwa PSU tidak kian bertambah dan terus berlarut-larut.
Salah satu caranya kata Titi, KPU dan Bawaslu harus bisa mengantisipasi penyelenggaraan dan pengawasan PSU agar sesuai dan sejalan dengan Putusan MK dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“KPU harus memastikan bahwa seluruh jajarannya bekerja professional, netral, dan berintegritas. Demikian pula dengan Bawaslu harus dipastikan telah melakukan pengawasan dengan optimal serta menindaklanjuti setiap laporan pelanggaran yang masuk sesuai ketentuan yang ada baik secara formil maupun materil,” tutur Titi.
Selain itu, Titi menekankan bahwa KPU dan Bawaslu harus mampu mempertanggungjawabkan kerja-kerjanya dan membuktikan bahwa tidak ada penyimpangan dan pelanggaran yang berdampak terhadap validitas, kredibilitas, maupun integritas proses dan hasil pilkada.
Bersiap hadapi gugatan PSU
Hingga saat ini, ada 7 hasil PSU Pilkada yang digugat kembali ke Mahkamah Konstitusi. Titi mengungkapkan gugatan PSU bisa saja berpotensi bertambah jika KPU dan Bawaslu tidak memperkuat pengawasan hingga teknis di lapangan. Menurutnya, permohonan sengketa hasil tersebut tidak bisa dihindari karena merupakan hak konstitusional para peserta pilkada.
Ia juga mendorong agar KPU dan Bawaslu menyiapkan jawaban dan keterangan yang komprehensif untuk menjawab setiap dalil yang dipersoalkan oleh pemohon dalam permohonannya ke MK.
“KPU dan Bawaslu harus menyiapkan jawaban dan keterangan tersebut harus ditopang data, fakta, dan alat bukti yang kuat sehingga makin menegaskan posisi KPU yang sudah bekerja secara profesional dan imparsial dalam penyelenggaraan PSU,” katanya.
Selain itu, Titi juga mengingatkan agar pasangan calon atau pemohon untuk mampu membuktikan bahwa politik uang tersebut berpengaruh terhadap perolehan suara di PSU pilkada. Mengingat sengketa di MK adalah sengketa hasil, maka korelasi politik uang dengan hasil pilkada harus bisa dibuktikan oleh penggugat.
“KPU juga harus membuat jawaban permohonan secara lengkap, sistematis, dan menyeluruh dalam merespon dalil keberatan pemohon. Kuasa Hukum KPU juga harus dipastikan adalah pihak yang kredibel dan memiliki pengetahuan yang baik terkait hukum pemilu,” katanya.
Selain itu, untuk menghadapi gugatan, pihak KPU kata Titi, perlu menghadirkan saksi dan ahli yang relevan dalam rangka memperkuat jawaban dan argumentasi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Hal penting lainnya, Titi menilai KPU dan Bawaslu harus bekerja terbuka, transparan, dan akuntabel kepada publik. Ia menekankan keterbukaan dan akuntabilitas KPU akan membantu kepercayaan publik atas kualitas dan kredibilitas penyelenggaraan PSU.
“Penyelenggara pilkada jangn menutup akses informasi dan harus mampu menjelaskan setiap keputusannya dengan baik kepada masyarakat dan pemangku kepentingan pilkada yang ada di daerah,” tandasnya. (Dev/M-3)