Komdigi: Keamanan Data Jadi Kunci Kepercayaan di Era Digital

1 day ago 9
 Keamanan Data Jadi Kunci Kepercayaan di Era Digital Direktur Pengembangan Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Sonny Hendra.(Dok. Antara)

KEAMANAN data menjadi isu krusial dalam proses transformasi digital, terutama di sektor perbankan. Karenanya, pengamanan data pribadi di era digital menjadi hal utama yang harus dijaga. Apalagi pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membuat perihal keamanan data tak lagi bisa ditawar

Direktur Pengembangan Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Sonny Hendra menegaskan, data pribadi merupakan inti dari sistem kecerdasan buatan dan tulang punggung dari seluruh layanan digital.

"Data pribadi itu heart and soul-nya AI. Jadi, yang paling esensial dalam transformasi digital adalah bagaimana data dikelola dan diamankan," kata Sonny dalam taklimat media bertajuk How Tech Innovations Transform Financial Services, Jakarta, Kamis (17/4).

Menurutnya, banyak masalah muncul ketika lembaga atau individu beralih ke digital tanpa kesiapan literasi atau infrastruktur yang memadai. Transformasi yang dilakukan secara asal-asalan justru berpotensi membuka celah keamanan yang merugikan.

Sonny menekankan, sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak jika terjadi kebocoran data. Kepercayaan publik yang menjadi fondasi utama industri keuangan bisa runtuh dalam sekejap.

"Trust di perbankan itu setipis tisu. Sekali ada breach, dampaknya bisa sangat besar. Karena itu bank harus heavy invest untuk menjaga keamanan data," kata dia.

Dalam membangun ekosistem digital yang aman dan inklusif, lanjut Sonny, pemerintah menerapkan pendekatan pentahelix, melibatkan sektor pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media.

Ancaman siber yang kian kompleks mendorong perbankan digital untuk tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga meningkatkan literasi nasabah. Untuk itu, UOB Indonesia menegaskan komitmennya dalam menjaga keamanan data nasabah melalui pendekatan menyeluruh, mulai dari peningkatan sistem hingga edukasi berkelanjutan.

"Kami berkomitmen untuk selalu melakukan health assessment, memantau tren industri, serta melakukan perbaikan berkala," terang TMRW Head UOB Indonesia Glenn Natamihardja.

Namun, menurut Glenn, celah keamanan tidak selalu berasal dari sistem internal. Banyak kasus justru terjadi karena rendahnya literasi digital dan tingginya keberhasilan manipulasi lewat teknik social engineering.

"Dari kasus yang kami pelajari, masalahnya bukan karena mobile app yang kurang aman, tapi karena nasabah tertipu oleh channel luar akibat kurangnya edukasi dan awareness," jelasnya.

Karenanya, UOB Indonesia memandang penting investasi di bidang keamanan siber yang dibarengi dengan kampanye edukasi yang intensif. "Kami sangat komit untuk menyeimbangkan investasi keamanan dengan edukasi nasabah. Kami juga rutin menyisihkan anggaran tahunan agar tetap kompetitif di tengah inovasi industri yang cepat," kata Glenn.

Selain itu, Glenn menyebut UOB aktif melakukan pemetaan kebutuhan nasabah digital guna menyempurnakan inovasi layanan, tanpa mengesampingkan aspek proteksi data pribadi.

Adapun fokus UOB ialah menciptakan pengalaman perbankan yang tidak hanya cepat dan efisien, tetapi juga relevan dengan gaya hidup nasabah.

"Kami sangat spesifik dalam menentukan segmen target. Dan berdasarkan itu, kami kembangkan fitur dan pelayanan yang sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan mereka," kata Glenn.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, maraknya kasus phishing dan kebocoran data pribadi dalam layanan digital menunjukkan lemahnya sistem perlindungan data di Indonesia.

Menurutnya, peran regulator dan pelaku industri tak kalah penting dibanding literasi masyarakat. "Sering kali kita salahkan masyarakat karena klik link sembarangan. Tapi ada hal mendasar yang harus jadi perhatian, bagaimana pelaku kejahatan bisa mendapatkan data kita sejak awal?" ujar Huda.

Menurutnya, akar dari persoalan keamanan data adalah praktik jual-beli data, baik secara legal maupun ilegal, yang masih terjadi hingga kini. Padahal, lanjut Huda, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) secara tegas melarang penyalahgunaan data oleh penyedia layanan.

"UU PDP mengatur bahwa tidak boleh ada transaksi jual-beli data ke pihak ketiga. Kalau saya menyerahkan data ke provider A, maka data itu tidak boleh dijual ke pihak lain," ungkapnya.

Ia menambahkan, kepercayaan publik terhadap layanan digital hanya bisa tumbuh jika semua pihak, termasuk penyedia layanan dan regulator, berkomitmen menjaga data yang telah dipercayakan oleh masyarakat.

"Tidak bisa kita menyalahkan 100% ke masyarakat. Pemain dan regulator juga harus menjaga data sesuai perjanjian, bukan justru memperdagangkannya," kata Huda.

Karenanya, dia berharap UU PDP dapat ditegakkan secara konsisten untuk memutus rantai penyalahgunaan data pribadi, terutama di tengah meningkatnya penetrasi layanan keuangan digital di Indonesia. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |