
Pimpinan Aliansi Pengemudi Online Bersatu, Kemed, menyebutkan bahwa carut-marut persoalan transportasi online ini berawal dari ketidakpatuhan aplikator-aplikator terhadap peraturan-peraturan yang ada.
"Selama ini, teman-teman didefinisikan sebagai mitra oleh para aplikator. Kalau bicara kemitraan, kita punya Undang-Undang 20 Tahun 2008 yang mengatur tentang bagaimana kita bermitra. Kita juga punya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kedua Undang-Undang itu mereka jelas-jelas langgar itu, mereka menetapkan aturan sendiri, potongan sendiri, kebijakan sendiri dan segala macamnya," ucap Kemed saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V, Rabu (21/5).
Dia menyampaikan, salah satu bentuk pembangkangan aplikator ojol terhadap aturan adalah tidak patuhnya mereka melaksanakan imbauan Surat Edaran (SE) Kementerian Ketenagakerjaan terkait dengan Bantuan Hari Raya (BHR).
"Dalam surat edaran tersebut tertulis bonus hari raya sebesar 20% dari total penghasilan teman-teman selama setahun dibagi 12 bulan. Tapi faktanya, itu dimanipulasi. Kemudian mereka membuat berbagai macam-macam gimik yang akhirnya membatalkan teman-teman buat mendapatkan BHR itu," bebernya.
Ia juga menyoroti soal belum adanya perlindungan dan keselamatan kerja yang diberikan aplikator kepada mitra pengemudi ojol.
"Belum pernah ada perlindungan keamanan dan keselamatan kerja bagi kami. Kita tidak pernah dianggap ada oleh pemerintah. Baru di eranya Prabowo inilah berinisiatif membuat peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja bagi tenaga kerja platform," sebut dia. (E-3)