
RIAU menjadi salah satu provinsi prioritas darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini. Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, penanganan karhutla di Provinsi Riau memiliki tantangan tersendiri karena wilayah ini secara alamiah akan mengalami dua kali musim kemarau.
Berdasarkan hasil analisis, katanya, Riau akan mengalami kemarau pada Februari-Maret, serta Mei, Juni, Juli, dan Agustus yang menjadi puncaknya. Musim kemarau di Riau pun kemungkinan masih terjadi hingga September.
“Sehingga periode mengalami hotspot itu akan lebih sering dari wilayah lainnya secara alamiah. Kalau sudah diprediksi dalam proyeksi mingguan meskipun (tidak ada) pembakaran pun akan terbakar karena adanya angin dan gesekan ranting,” kata Dwikorita dalam keterangannya, Rabu (30/4).
Adapun dasar untuk menetapkan sebuah provinsi tanggap darurat, BMKG berperan dalam memberikan input data dan informasi kepada BNPB. Analisis dan prediksi akan didasari oleh kondisi curah hujan dan sejarah kejadian hotspot. Itu telah terekam di dalam big data di masa lalu dengan dikaitkan oleh kondisi curah hujan.
Dengan begitu, maka proyeksi enam bulan ke depan sudah bisa diprediksi mulai dari bulan apa saja kemarau akan datang. Kemudian daerah bahkan kecamatan mana aja yang akan berpotensi tinggi mengalami kebakaran hutan dan lahan.
“Contohnya beberapa bulan yang lalu kita sudah memprediksi mulai Mei, Riau moderat potensinya. Makanya BNPB bisa berkoordinasi dengan gubernur Riau untuk segera melakukan mitigasi seperti modifikasi cuaca,” ujarnya.
Dwikorita menjelaskan, melalui peralatan yang saat ini dimiliki, BMKG berkomitmen untuk memonitor titik panas dan hembusan arah asap setiap jam. Hal itu memungkinkan untuk mengetahui perseberan asap akibat karhutla yang berpotensi menjadi konflik dengan negara tetangga sehingga dapat dimitigasi secepat mungkin. (H-2)