ICW: Revisi UU Ormas dengan Dalih Transparansi Keuangan Ancam Kebebasan Berserikat

2 hours ago 1
 Revisi UU Ormas dengan Dalih Transparansi Keuangan Ancam Kebebasan Berserikat Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah(MEDCOM/ILHAM)

MENTERI Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Hal ini didorong oleh banyaknya kasus organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bertindak di luar batas, termasuk melakukan intimidasi, pemerasan, dan kekerasan. 

Salah satu poin yang menjadi sorotan pemerintah dalam revisi UU Ormas yaitu terkait pengawasan yang lebih ketat terhadap OMS, terutama dalam transparansi keuangan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah mengatakan Revisi UU Ormas dengan dalih pengetatan pengawasan keuangan OMS, tidak bisa menjadi solusi efektif untuk menangkal persoalan OMS intimidatif dan pelaku kekerasan horizontal. 

“Tindakan utama yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah melakukan penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap OMS yang melakukan pelanggaran,” kata Wana dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Rabu (30/4).

Wana menilai pernyataan Mendagri Tito justru berpotensi salah sasaran dan melanggengkan hegemoni OMS intimidatif serta pelaku kekerasan horizontal. Sebab menurutnya, masalah utama terkait kekerasan bukan terletak pada transparansi keuangan.

Menyikapi pernyataan Mendagri Tito Karnavian terkait peluang revisi UU Ormas yang berfokus pada pengawasan yang lebih ketat dan transparansi keuangan OMS, ICW beserta Koalisi Kebebasan Berserikat menyatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa negara masih menganggap OMS sebagai ancaman. 

“Dengan adanya rencana pengawasan yang berlebihan tersebut, semakin memperlihatkan masih adanya kekuasaan absolut bagi negara yang sangat superior dan berwenang untuk mengontrol warga negara, serta memposisikan rakyat sebagai objek,” kata Wana. 

Hal itu lanjut Wana, membuktikan bahwa pemerintah masih memainkan peran yang sentralistik dan belum memberikan ruang yang lebih luas terhadap partisipasi masyarakat melalui OMS. Menurutnya, permasalahan terkait penegakan hukum yang tidak tegas terkait aksi premanisme berkedok ormas, tidak bisa dikorelasikan pada persoalan anggaran OMS. 

“Alih-alih melakukan penegakan hukum terhadap OMS yang melakukan intimidasi, pemerasan, dan kekerasan, pemerintah justru mempermasalahkan kekosongan hukum dengan melakukan revisi terhadap UU Ormas,”

Alih-alih melakukan revisi UU Ormas, Wana menilai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh staf/pegiat dari OMS, seharusnya dapat ditindak melalui UU Ormas, KUHP, UU ITE, dan undang-undang lainnya.

Selain itu, UU Ormas dinilai berpotensi menjadi alat represi bagi masyarakat sipil. Temuan Koalisi Kebebasan Berserikat menunjukkan bahwa terdapat pola pembatasan dan pelanggaran bagi OMS melalui implementasi UU Ormas. 

Pembatasan berserikat tersebut tercermin pada pengaturan kewajiban pendaftaran bagi OMS dengan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), pemberian stigma ilegal atau liar bagi OMS yang tidak terdaftar, serta antek asing bagi OMS Indonesia. 


Mengulang praktik Orde Baru 

Wana menuturkan bahwa pemerintah juga kerap melakukan pengawasan secara berlebihan bagi OMS dan ruang sipil dengan pendekatan politik-keamanan, pembatasan akses sumber daya bagi OMS. 

“Bahkan terjadi pembubaran OMS tanpa melalui proses peradilan. Bahkan lanjutnya, sanksi pidana yang ada dalam UU Ormas juga digunakan untuk mengkriminalisasi staf/anggota OMS,” katanya. 

Menurut Wana, pola pembatasan tersebut menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan dan mengulang praktik yang dijalankan pada masa otoritarianisme Orde Baru. Dikatakan bahwa pembubaran OMS oleh pemerintah dalam negara hukum demokratis adalah satu bentuk pelanggaran prinsipil dari konstitusi dan hak asasi manusia. 

“Alih-alih mendorong prinsip due process of law, pemerintah malah mempersempit kebebasan berserikat bagi OMS di Indonesia melalui rencana pengawasan yang lebih ketat terhadap transparansi keuangan masing-masing OMS,” tukasnya. 

Revisi UU Ormas yang diwacanakan oleh Mendagri justru akan menghidupkan kembali pendekatan politik-keamanan ala Orde Baru yang memandang partisipasi warga sebagai ancaman stabilitas, sehingga mengancam hak konstitusional untuk berserikat dan berkumpul. 

“Pendekatan ini rawan menyebabkan penanganan hukum berbasis stigma dan pembubaran preventif, bukan pada penegakan hukum berbasis bukti,” ujar Wana. 

Atas dasar itu, menurut Wana, UU Ormas seharusnya tidak direvisi, melainkan dicabut karena mengandung kekeliruan konseptual yang menempatkan negara sebagai pengawas, bukan penjamin kebebasan berserikat. 

“Reformasi hukum kerangka hukum sektor masyarakat sipil perlu segera dilakukan dengan membahas dan mengesahkan UU Perkumpulan,” jelasnya. 

Wana juga menyoroti adanya pandangan keliru terkait konseptual dalam menangani permasalahan premanisme berkedok ormas terhadap permasalahan akuntabilitas. Menurutnya, penting untuk terlebih dahulu melihat subjek dan keabsahan hukum sebuah organisasi apakah berbadan hukum atau tidak. 

“Jika suatu organisasi memilih tidak berbadan hukum, seharusnya pengawasan terhadap keuangan tidak perlu dilakukan karena tidak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan/melaporkan keuangan organisasi non-badan hukum kepada negara,” pungkasnya.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |