
HARI Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) 2025 diperingati setiap tanggal 17 April. Peringatan Hari Hemofilia Seunia dinilai penting agar masyarakat ebih mengenal dan peduli terhadap hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya. Tahun ini, WHD mengusung tema “Access for All: Women and Girls Bleed Too” yang menyoroti pentingnya akses diagnosis dan pengobatan yang setara bagi semua penyandang, termasuk perempuan dan anak perempuan yang sering kali terabaikan dalam konteks gangguan perdarahan.
Apa itu Hemofilia?
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan yang pada umumnya diturunkan, di mana darah tidak dapat membeku dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan spontan (perdarahan yang terjadi tanpa sebab yang diketahui) serta perdarahan setelah cedera, tindakan medis seperti pengambilan darah, vaksinasi, pembedahan, dan lainnya. Darah mengandung sejumlah protein, di mana salah satunya adalah faktor pembekuan darah yang bertugas menghentikan perdarahan. Hemofilia terdiri dari 2 tipe, yaitu hemofilia A (orang dengan jumlah faktor VIII yang rendah) dan hemofilia B (orang dengan jumlah IX yang rendah). Tingkat keparahan hemofilia ditentukan oleh jumlah faktor pembekuan darah orang tersebut. Semakin rendah jumlah faktor, semakin besar kemungkinan terjadinya perdarahan spontan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun, prevalensi di Indonesia masih tergolong rendah karena banyak kasus yang belum terdiagnosis. Data HMHI tahun 2024 menunjukkan baru sekitar 11% pasien hemofilia berhasil teridentifikasi di Indonesia, atau sebanyak 3.658. Jumlah ini masih jauh dari perkiraan yang seharusnya sejumlah 28.000 pasien.
Selama ini, hemofilia diyakini hanya menimbulkan gejala pada pria dan anak laki-laki, sementara perempuan yang menjadi “pembawa” gen hemofilia dianggap tidak mengalami gejala perdarahan. Namun, studi terkini membuktikan bahwa banyak perempuan dan anak perempuan juga menunjukkan gejala hemofilia. Sebagian dari mereka menjalani hidup selama bertahun-tahun tanpa diagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka mungkin memiliki gangguan perdarahan.
Banyak Kasus Belum Terdeteksi
Dr. dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), menyoroti bahwa penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal.
“Banyak kasus hemofilia yang baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat, yang meningkatkan risiko komplikasi serius seperti disabilitas dan kematian," ujarnya, Kamis (17/4).
Saat ini, sambung Novie, hanya sekitar 11% dari perkiraan total pasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis, menunjukkan masih banyak kasus yang belum terdeteksi. Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah. Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6%.”
dr. Novie menambahkan, tantangan besar lainnya dalam manajemen hemofilia di Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap pengobatan yang merata di seluruh wilayah. “Fasilitas diagnosis dan
pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengadvokasikan hal ini demi meningkatkan diagnosis dan tatalaksana hemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia,” tutupnya.
Penyakit Von Willebrand Disease (VWD)
Selain hemofilia, ada beberapa jenis gangguan perdarahan lain yang dikenal, termasuk penyakit Von Willebrand Disease (VWD)—kelainan perdarahan yang diturunkan akibat kekurangan faktor von Willebrand, sering kali tidak terdiagnosis, terutama pada wanita. Minimnya kesadaran akan gangguan perdarahan sering kali mengakibatkan pasien tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Padahal, hemofilia dan VWD merupakan dua bentuk defisiensi faktor pembekuan bawaan yang paling umum, yang membuat pasien rentan terhadap perdarahan. Pasien dengan kelainan VWD sering kali pada awalnya ditangani di unit gawat darurat dengan komplikasi perdarahan seperti menstruasi yang sangat berat, perdarahan pasca melahirkan, dan mudah memar.
HK, salah seorang pasien hemofilia, mengakui banyak tantangan dalam mendeteksi dan mendiagnosis hemofilia di Indonesia.
“Saya sudah hidup dengan hemofilia selama lebih dari 34 tahun, dan telah menjalani berbagai pengobatan seperti transfusi darah dan mengonsumsi obat konsentrat faktor VIII pembekuan darah. Dari perjalanan saya ini, saya banyak bertemu dengan pasien hemofilia lainnya, baik yang sudah dewasa maupun anak-anak. Saya melihat adanya tantangan dalam deteksi dan penanganan hemofilia di Indonesia, sehingga menyebabkan bayi dan anak-anak dengan penyakit ini mengalami perdarahan yang berisiko, sampai memakan korban jiwa. Tentunya ini sangat memilukan," ucap dia.
Ia pun berharap pengobatan hemofilia di Indonesia bisa lebih baik lagi.
“Saya berharap, obat konsentrat faktor pembekuan dapat terus ditanggung oleh BPJS. Mengingat obat ini terbukti efektif menyembuhkan dan menghindarkan pasien dari risiko infeksi melalui darah seperti Hepatitis dan lainnya,” tutupnya.
Sementara itu, SRS, pasien Von Willebrand Disease (VWD) berusia 17 tahun, mengungkapkan didiagnosis Von Wollebrand Disease saat berusia 7 tahun. Saat itu, ia mengalami perdarahan di gigi, gusi, dan terjadi lebam di beberapa bagian tubuh. Gejalanya yang ringan, membuat penyakit ini sulit didiagnosis, dan tidak terdeteksi.
Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, menyampaikan, pentingnya advokasi hemofilia, VWD, serta penyakit perdarahan lainnya, terutama dalam peningkatan kesadaran dan tatalaksana penyakit. (H-4)