
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima permohonan Pemohon Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Wali Kota Palopo dan PHPU Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024.
Menurut Mahkamah, Calon Wakil Wali Kota Palopo, Akhmad Syarifuddin sudah mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana kepada masyarakat atau pemilih sebelum penetapan pasangan calon (paslon) peserta Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Wali Kota Palopo pasca Putusan MK terhadap PHPU Wali Kota Palopo sebelumnya.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Selasa (8/7), menjelaskan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh Bawaslu dan termohon (Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo/KPU Provinsi Sulawesi Selatan) tidak tepat jika dibebankan kepada Akhmad Syarifuddin.
“Terlebih Akhmad Syarifuddin telah berinisiatif mengumumkan sendiri perihal statusnya sebagai mantan terpidana dalam Harian Palopo Pos pada tanggal 7 Maret 2025 sebelum dilakukan penetapan pasangan calon untuk PSU pada tanggal 23 Maret 2025,” katanya.
Fakta Hukum?
Ridwan menjelaskan Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa Akhmad Syarifuddin sudah mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana kepada masyarakat atau pemilih sebelum penetapan pasangan calon peserta PSU oleh termohon dan sebelum adanya temuan dan/atau rekomendasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Palopo.
“Mahkamah menilai langkah atau tindakan yang dilakukan termohon dan Akhmad Syarifuddin adalah langkah/tindakan yang dapat memenuhi tujuan pengumuman tersebut kepada masyarakat/pemilih. Bahkan, pengumuman kepada masyarakat/pemilih melalui Harian Palopo Pos dilakukan Akhmad Syarifuddin sebelum penetapan pasangan calon untuk PSU oleh termohon,” tukasnya.
Mantan Terpidana?
Selain itu, jika ditelusuri ke belakang, Akhmad Syarifuddin telah secara jujur mengemukakan statusnya sebagai mantan terpidana ketika yang bersangkutan mengajukan permohonan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kepada Polres Palopo.
“Dalam hal ini pada saat mengisi formulir permohonan, Akhmad Syarifuddin menyatakan pernah dipidana karena melakukan tindak pidana pemilu. Bahkan SKCK yang diterbitkan Polres Palopo telah mencantumkan norma atau pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang menjadi dasar penjatuhan pidana kepada Akhmad Syarifuddin,” jelasnya.
Rekomendasi Bawaslu?
Ridwan melanjutkan, Mahkamah tidak dapat membenarkan rekomendasi Bawaslu karena tidak menentukan secara jelas tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh termohon.
“Begitu Pula dengan termohon, Mahkamah pun tidak dapat membenarkan tindakan termohon yang memaknai rekomendasi Bawaslu dengan melengkapi persyaratan calon. Namun demikian, kesalahan yang dilakukan oleh Bawaslu dan termohon tidak tepat jika dibebankan kepada Akhmad Syarifuddin,” ucapnya.
Kedudukan Hukum?
Dengan demikian, Mahkamah menyatakan pemohon yaitu Paslon Nomor Urut 2 Farid Kasim-Nurhaenih tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini. Sebab, perkara ini tidak memenuhi ketentuan ambang batas selisih suara antara pemohon dan Pihak Terkait sebagai peraih suara terbanyak yang diatur Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada berkenaan dengan kedudukan hukum.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak gugatan perkara PHP-kada Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024 yang diajukan pasangan calon (paslon) Novita Bulan dan Artya Fathra Marthin (Novita-Artya).
Syarat Pengajuan?
Mahkamah menilai Paslon Nomor Urut 2 ini tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan karena tidak memenuhi ketentuan syarat pengajuan permohonan.
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (8/7/2025) menjelaskan, ketentuan dimaksud jumlah perbedaan perolehan suara antara pemohon dan paslon yang meraih suara terbanyak (Pihak Terkait yaitu Paslon Nomor Urut 3 Angela Idang Belawan-Suhuk) seharusnya paling banyak 416 suara.
Selisih Suara?
Sedangkan selisih perolehan suara pemohon dan Pihak Terkait dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati (Pilbup) Mahakam Ulu adalah 2.302 suara atau lebih dari 416 suara.
“Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016 berkenaan dengan kedudukan hukum. Andaipun ketentuan tersebut dikesampingkan, quod non, telah ternyata dalil-dalil pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Dalil Lemah?
Selain itu, Mahkamah telah mengesampingkan atau menunda pemberlakuan Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada dengan melakukan sidang pemeriksaan perkara dalam agenda pembuktian, tetapi ternyata dalil-dalil pokok permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Salah satunya mengenai pelanggaran politik uang yang dilakukan Paslon Nomor Urut 3 Angela-Suhuk adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Arsul.
Pengawasan Faktual?
Lebih jauh, Mahkamah menemukan fakta bahwa pengawasan faktual Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di lapangan tidak menemukan adanya pembagian uang oleh Tim Kampanye Paslon Nomor Urut 3, baik saat kampanye maupun pada hari pemungutan suara.
“Tidak pula ada rekomendasi dari Bawaslu agar dilakukan pemungutan suara ulang akibat politik uang. Sebab itu, dalil Pemohon bahwa telah terjadi praktik politik uang termasuk praktik vote buying adalah dalil yang tidak dapat dibuktikan,” jelas Arsul. (Dev/P-3)