Geguritan Bahasa Jawa: Keindahan Sastra Tradisional

1 week ago 13
 Keindahan Sastra Tradisional Ilustrasi(Dok kemdikbud.go.id)

GEGURITAN, sebuah permata dalam khazanah sastra Jawa, memancarkan keindahan yang tak lekang oleh waktu. Lebih dari sekadar rangkaian kata, geguritan adalah manifestasi jiwa, ungkapan perasaan mendalam, dan cerminan budaya yang kaya. Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, membawa pesan-pesan luhur dan nilai-nilai kehidupan dari generasi ke generasi. Keunikan geguritan terletak pada kemampuannya memadukan keindahan bahasa, kedalaman makna, dan kekuatan emosi dalam satu kesatuan yang harmonis. Mari kita menyelami lebih dalam dunia geguritan, mengungkap pesona dan signifikansinya dalam konteks budaya Jawa.

Mengenal Lebih Dekat Geguritan

Geguritan, dalam definisi yang paling sederhana, adalah puisi tradisional Jawa. Namun, definisi ini tidak sepenuhnya mencakup kompleksitas dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Geguritan bukan sekadar puisi biasa; ia terikat oleh aturan-aturan metrum (guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu) yang ketat, yang memberikan struktur dan ritme yang khas. Aturan-aturan ini, meskipun tampak membatasi, justru menjadi tantangan bagi para penyair untuk berkreasi dan menghasilkan karya yang indah dan bermakna. Setiap baris (gatra) memiliki jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan diakhiri dengan bunyi vokal (guru lagu) yang telah ditentukan. Kombinasi dari ketiga unsur ini menciptakan melodi yang unik dan memikat, yang membedakan geguritan dari bentuk puisi lainnya.

Selain terikat oleh aturan metrum, geguritan juga memiliki ciri khas dalam penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam geguritan biasanya adalah bahasa Jawa Kuno atau bahasa Jawa Tengahan, yang kaya akan kosakata dan ungkapan-ungkapan simbolis. Penggunaan bahasa yang indah dan puitis ini bertujuan untuk membangkitkan emosi dan imajinasi pembaca atau pendengar. Para penyair geguritan sering kali menggunakan majas (figurative language) seperti simile, metafora, personifikasi, dan hiperbola untuk memperkaya makna dan menciptakan efek estetis yang mendalam. Pemilihan kata yang cermat dan penggunaan gaya bahasa yang khas menjadi ciri pembeda geguritan dari karya sastra lainnya.

Lebih dari sekadar keindahan bahasa dan struktur yang teratur, geguritan juga memiliki fungsi sosial dan budaya yang penting. Geguritan sering kali digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral, nasihat, kritik sosial, atau ungkapan cinta dan kerinduan. Dalam tradisi Jawa, geguritan sering dibacakan dalam acara-acara ritual, upacara adat, atau pertunjukan seni. Pembacaan geguritan (macapat) bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga merupakan sarana untuk mempererat tali persaudaraan, melestarikan nilai-nilai budaya, dan menyampaikan ajaran-ajaran luhur kepada generasi muda.

Sejarah dan Perkembangan Geguritan

Sejarah geguritan dapat ditelusuri hingga masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Pada masa itu, geguritan digunakan sebagai media untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, kisah-kisah kepahlawanan, dan catatan sejarah. Salah satu contoh geguritan yang terkenal dari masa ini adalah Kakawin Ramayana dan Kakawin Bharatayuddha, yang merupakan adaptasi dari epik India yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Geguritan-geguritan ini tidak hanya memiliki nilai sastra yang tinggi, tetapi juga memberikan wawasan yang berharga tentang kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat Jawa pada masa itu.

Pada masa perkembangan agama Islam di Jawa, geguritan mengalami transformasi yang signifikan. Para ulama dan pujangga Muslim menggunakan geguritan sebagai media untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan nilai-nilai moral yang sesuai dengan ajaran agama. Geguritan-geguritan pada masa ini sering kali mengandung pesan-pesan tentang keesaan Tuhan, pentingnya beribadah, dan kewajiban untuk berbuat baik kepada sesama. Salah satu contoh geguritan yang terkenal dari masa ini adalah Serat Dewaruci, yang mengisahkan tentang perjalanan spiritual seorang tokoh bernama Bima dalam mencari hakikat kehidupan.

Pada masa penjajahan Belanda, geguritan menjadi salah satu media untuk menyuarakan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Para penyair geguritan menggunakan bahasa yang indah dan puitis untuk membangkitkan semangat patriotisme dan mengajak masyarakat untuk bersatu melawan penjajah. Geguritan-geguritan pada masa ini sering kali mengandung kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan seruan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satu contoh geguritan yang terkenal dari masa ini adalah karya-karya dari R.A. Kartini, yang menggunakan geguritan sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang emansipasi wanita dan pentingnya pendidikan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, geguritan terus berkembang dan mengalami berbagai inovasi. Para penyair geguritan modern tidak hanya terikat pada aturan-aturan metrum yang ketat, tetapi juga mencoba untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk ekspresi yang baru dan lebih bebas. Geguritan-geguritan modern sering kali mengangkat tema-tema yang relevan dengan kehidupan masyarakat kontemporer, seperti masalah sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan. Meskipun mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, geguritan tetap menjadi bagian penting dari khazanah sastra Jawa dan terus dilestarikan oleh para seniman dan budayawan.

Unsur-Unsur Penting dalam Geguritan

Untuk memahami dan mengapresiasi geguritan dengan lebih baik, penting untuk memahami unsur-unsur penting yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur ini meliputi:

  • Tema: Tema adalah ide pokok atau gagasan utama yang ingin disampaikan oleh penyair dalam geguritan. Tema dapat berupa cinta, kerinduan, kesedihan, kebahagiaan, kritik sosial, nasihat moral, atau refleksi filosofis.
  • Amanat: Amanat adalah pesan moral atau pelajaran yang ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca atau pendengar. Amanat dapat tersirat dalam keseluruhan isi geguritan atau dinyatakan secara eksplisit dalam beberapa baris.
  • Nada: Nada adalah sikap atau perasaan penyair terhadap tema yang diangkat dalam geguritan. Nada dapat berupa sedih, gembira, marah, kecewa, atau netral.
  • Rasa: Rasa adalah emosi atau perasaan yang ingin dibangkitkan oleh penyair dalam diri pembaca atau pendengar. Rasa dapat berupa haru, sedih, gembira, marah, atau takut.
  • Aksara: Aksara adalah pilihan kata atau diksi yang digunakan oleh penyair dalam geguritan. Aksara harus dipilih dengan cermat agar sesuai dengan tema, nada, dan rasa yang ingin disampaikan.
  • Purwakanthi: Purwakanthi adalah persamaan bunyi atau rima yang digunakan dalam geguritan. Purwakanthi dapat berupa purwakanthi guru swara (persamaan bunyi vokal), purwakanthi guru sastra (persamaan bunyi konsonan), atau purwakanthi lumaksita (pengulangan kata atau frasa).
  • Basa Rinengga: Basa Rinengga adalah gaya bahasa yang indah dan puitis yang digunakan dalam geguritan. Basa Rinengga meliputi majas (figurative language) seperti simile, metafora, personifikasi, dan hiperbola.
  • Guru Gatra: Guru Gatra adalah jumlah baris dalam setiap bait geguritan. Setiap jenis geguritan memiliki jumlah guru gatra yang berbeda-beda.
  • Guru Wilangan: Guru Wilangan adalah jumlah suku kata dalam setiap baris geguritan. Setiap jenis geguritan memiliki guru wilangan yang berbeda-beda.
  • Guru Lagu: Guru Lagu adalah bunyi vokal terakhir dalam setiap baris geguritan. Setiap jenis geguritan memiliki guru lagu yang berbeda-beda.

Dengan memahami unsur-unsur ini, kita dapat mengapresiasi geguritan dengan lebih mendalam dan memahami pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penyair.

Jenis-Jenis Geguritan

Geguritan memiliki berbagai jenis, yang dibedakan berdasarkan metrum, tema, dan gaya bahasa yang digunakan. Beberapa jenis geguritan yang paling umum adalah:

  • Macapat: Macapat adalah jenis geguritan yang paling populer dan sering digunakan. Macapat memiliki berbagai macam bentuk, seperti Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Setiap bentuk macapat memiliki aturan metrum yang berbeda-beda, yang menentukan jumlah guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu.
  • Geguritan Gagrag Anyar: Geguritan Gagrag Anyar adalah jenis geguritan modern yang tidak terikat oleh aturan-aturan metrum yang ketat. Geguritan Gagrag Anyar memberikan kebebasan kepada penyair untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk ekspresi yang baru dan lebih bebas.
  • Geguritan Mantra: Geguritan Mantra adalah jenis geguritan yang digunakan dalam ritual-ritual magis atau spiritual. Geguritan Mantra biasanya mengandung kata-kata atau frasa yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
  • Geguritan Suluk: Geguritan Suluk adalah jenis geguritan yang digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf atau mistisisme Islam. Geguritan Suluk biasanya mengandung pesan-pesan tentang cinta kepada Tuhan, pentingnya membersihkan diri dari dosa, dan upaya untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

Setiap jenis geguritan memiliki karakteristik yang unik dan menawarkan pengalaman estetis yang berbeda-beda. Dengan mengenal berbagai jenis geguritan, kita dapat memperluas wawasan kita tentang kekayaan sastra Jawa.

Tokoh-Tokoh Penting dalam Dunia Geguritan

Dunia geguritan telah melahirkan banyak tokoh-tokoh penting yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan dan pelestarian sastra Jawa. Beberapa tokoh yang paling terkenal adalah:

  • Ronggowarsito: Ronggowarsito adalah seorang pujangga keraton Surakarta yang hidup pada abad ke-19. Ia dikenal sebagai pujangga terakhir dari tradisi sastra Jawa klasik. Karya-karyanya yang terkenal antara lain Serat Kalatidha, Serat Sabdatama, dan Serat Wirid Hidayat Jati.
  • R.A. Kartini: R.A. Kartini adalah seorang tokoh emansipasi wanita yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia dikenal karena surat-suratnya yang berisi gagasan-gagasan tentang emansipasi wanita dan pentingnya pendidikan. Selain surat-surat, Kartini juga menulis geguritan yang mengungkapkan perasaan dan pemikirannya.
  • Ki Hajar Dewantara: Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada abad ke-20. Ia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara juga menulis geguritan yang berisi pesan-pesan tentang pentingnya pendidikan dan cinta tanah air.
  • Nartosabdho: Nartosabdho adalah seorang seniman karawitan yang hidup pada abad ke-20. Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu karawitan Jawa. Nartosabdho juga menulis geguritan yang digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan karawitannya.
  • Gesang: Gesang adalah seorang penyanyi keroncong yang hidup pada abad ke-20. Ia dikenal sebagai Bapak Keroncong Indonesia. Gesang juga menulis geguritan yang digunakan dalam lagu-lagu keroncongnya.

Tokoh-tokoh ini telah memberikan kontribusi yang tak ternilai dalam melestarikan dan mengembangkan geguritan sebagai bagian dari warisan budaya Jawa. Karya-karya mereka terus dibaca dan diapresiasi oleh generasi-generasi berikutnya.

Geguritan di Era Modern

Di era modern, geguritan terus mengalami perkembangan dan adaptasi. Meskipun banyak orang, terutama generasi muda, yang kurang familiar dengan geguritan, namun masih ada sekelompok seniman dan budayawan yang berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan geguritan. Mereka melakukan berbagai upaya, seperti:

  • Mengadakan pelatihan dan workshop geguritan: Pelatihan dan workshop geguritan bertujuan untuk memperkenalkan geguritan kepada generasi muda dan memberikan keterampilan dasar dalam menulis dan membaca geguritan.
  • Mengadakan festival dan lomba geguritan: Festival dan lomba geguritan bertujuan untuk memberikan wadah bagi para penyair geguritan untuk menampilkan karya-karya mereka dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap geguritan.
  • Memanfaatkan media sosial dan teknologi digital: Media sosial dan teknologi digital dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang geguritan dan mempromosikan karya-karya geguritan kepada khalayak yang lebih luas.
  • Mengkolaborasikan geguritan dengan seni lainnya: Geguritan dapat dikolaborasikan dengan seni lainnya, seperti musik, tari, teater, dan seni rupa, untuk menciptakan karya seni yang lebih inovatif dan menarik.

Upaya-upaya ini diharapkan dapat membantu melestarikan dan mengembangkan geguritan sebagai bagian dari warisan budaya Jawa yang berharga. Dengan terus berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, geguritan dapat tetap relevan dan diminati oleh masyarakat di era modern.

Contoh Geguritan Singkat

Berikut adalah contoh geguritan singkat yang menggambarkan keindahan alam pedesaan:

Sawah ijo royo-royo,
Nalika katon ing pandulu,
Ati dadi ayem tentrem,
Swara manuk ngalun merdu.

Gunung ngadeg jejeg gagah,
Nalika katon saka kadohan,
Eling marang Gusti Kang Murbeng Dumadi,
Kang paring kaendahan alam.

Terjemahan bebas:

Sawah hijau membentang luas,
Ketika terlihat di mata,
Hati menjadi tenang damai,
Suara burung berkicau merdu.

Gunung berdiri tegak perkasa,
Ketika terlihat dari kejauhan,
Ingat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
Yang memberikan keindahan alam.

Geguritan ini menggunakan bahasa Jawa yang sederhana dan mudah dipahami. Meskipun singkat, geguritan ini mampu membangkitkan imajinasi dan emosi pembaca, serta menyampaikan pesan tentang keindahan alam dan rasa syukur kepada Tuhan.

Kesimpulan

Geguritan adalah sebuah permata dalam khazanah sastra Jawa yang kaya akan keindahan, makna, dan nilai-nilai budaya. Ia adalah warisan leluhur yang harus kita lestarikan dan kembangkan agar tetap relevan dan diminati oleh generasi-generasi berikutnya. Dengan memahami unsur-unsur penting dalam geguritan, mengenal berbagai jenis geguritan, dan mengapresiasi karya-karya para penyair geguritan, kita dapat memperkaya wawasan kita tentang budaya Jawa dan meningkatkan rasa cinta kita terhadap tanah air. Mari kita terus mendukung upaya-upaya pelestarian dan pengembangan geguritan agar ia tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya kita.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah kutipan dari Ronggowarsito, seorang pujangga keraton Surakarta yang terkenal:

Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake.

Kutipan ini mengandung pesan tentang pentingnya memiliki kekayaan batin, kekuatan spiritual, dan kemampuan untuk meraih kemenangan tanpa merendahkan orang lain. Pesan ini relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam geguritan, yaitu keindahan, kebijaksanaan, dan harmoni. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |