Etika Mengelola Lingkungan

7 hours ago 3
Etika Mengelola Lingkungan (MI/Seno)

PESAN keberlanjutan sumber daya alam termasuk pulau kecil bukan tiba tiba hadir ke dalam menu pembangunan kita. Sejak 14 abad yang lalu, bahkan jauh sebelumnya, sebelum hadirnya gagasan SDG (Sustainable Development Goal).

Dalam Islam, kalau disimak secara saksama, sebenarnya sudah diingatkan sejak penciptaan manusia. Era Nabi Adam, pesan berkelanjutan dijelaskan melalui pesan kepada anak-anaknya agar berpikir sebelum bertindak. Makna pesan ini adalah sebelum melakukan sesuatu, milikilah ilmunya, ketahui mudaratnya dan manfaatnya. Sampai kemudian masa Nabi Muhammad SAW, tertuang rambu-rambu yang jelas bagi manusia untuk senantiasa memperhatikan keberlanjutan alam yang dapat diikuti sampai kini.

Salah satu narasi keberlanjutan dijelaskan dalam Surat Al-Mulk (15) bahwa kepada manusia bumi dijadikan untuk dimanfaatkan. Kemudian jelajahilah penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. Banyak tafsir menyebutkan, sebagian rezkinya bisa bermakna sebagai rezeki yang diterima langsung oleh manusia secara personal. Tafsir lain kalimat tersebut dapat bermakna sebagai rezeki yang Allah tebarkan di bumi pada eranya manusia. Konsep yang mudah dipahami dan jelas bahwa segala sesuatu yang ada di bumi untuk dimanfaatkan dengan batasan yang jelas.

Makna dengan mengambil setengahnya merupakan batasan agar generasi mendatang dapat menikmati rezeki yang ada sekarang. Selain itu, juga termaktub makna agar ada sumber daya yang disisakan sehingga mampu kembali pulih dan mendukung keberlanjutan hidup manusia. Pulih menuju recovery atau resilience guna mengimbangi keinginan manusia yang tidak terbatas.

Kalau diperhatikan dengan saksama, kenapa Allah membuat batasan untuk manusia. Setidaknya dalam pandangan awam penulis ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama, manusia merupakan makhluk yang punya kebiasaan merusak. Kedua, manusia termasuk makhluk yang suka berlebih-lebihan dan melampaui batas termasuk dalam memanfaatkan sumber daya. Ketiga, manusia memiliki sifat yang tidak pernah puas dan serakah dalam urusan dunia. Keempat, manusia sebagai pribadi yang sering alpa dan larut dalam kemewahan serta ditutupi kebodohan.

FAKTA EMPIRIS

Kalau kita melihat beberapa fakta kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan, menurut FWI (2024) selama 2017-2021 luas hutan turun rata-rata 2,4 juta hektare (ha) per tahun. Area hutan terbuka karena pertambangan emas, batu bara, nikel, bauksit terus meluas. Kejadian banjir bandang, kerusakan pesisir karena tambang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Penambangan di Pulau Gag, Pulau Wawoni, Pulau Gebe, Pulau Bangka-Belitung menampilkan sifat-sifat ketidakcukupan mengambil sumber daya alam oleh manusia.

Luasan ekosistem mangrove juga turun dan tersisa 1,7 juta ha dari sebelumnya 3,4 juta ha yang terdata. Terumbu karang yang sehat tersisa hanya 32% dari luasan terumbu yang kita punyai. Begitu juga jumlah ikan tangkapan tereksploitasi yang sudah mencapai lebih dari 50% sediaan stok ikan. Lalu, biodiversity mengalami penurunan karena habis dan punah baik didarat maupun di laut.

Sikap berlebihan dalam mengambil dan memanfaatkan sumber daya juga terlihat nyata di laut. Sumber daya ikan sebagian sudah berada pada kondisi overfishing. Praktik pengavelingan laut juga terjadi hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi. Selain itu, sikap mengambil harta rakyat secara berlebih dalam bentuk korupsi menjadi menu harian yang menghiasi dinding berita negeri ini.

Jurang kemiskinan terus menganga, di mana orang sangat kaya dapat berpenghasilan lebih 400 miliar per bulan, orang kaya dapat berpenghasilan di atas Rp10 juta per bulan, dan orang miskin Rp599 ribu per bulan. Data BPS 2023 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 25 juta jiwa (9,3%) dan penduduk kaya sekitar 10 juta jiwa dengan penghasilan di atas Rp23 juta per bulan.

Sikap tidak pernah puas tecermin dari banyak gaya baru dalam okupasi aset negara. Praktik pagar laut, pengalihan aset negara terjadi atas nama investasi. Lebih parahnya aset diokupasi, kerusakan tercecer untuk masyarakat. Sikap tidak puas ini kemudian berbahaya, yang melahirkan korupsi, invasi ekonomi, serta sikap tidak peduli dan hilang empati sesama anak bangsa.

Seiring dengan itu, upaya pemberantasan kebodohan tidak dilakukan serius. Data Goodstat (2024) mencatat 23,3% dari 284 penduduk tidak/belum sekolah. Masyarakat yang bodoh kemudian jadi komoditas politik dan sering dipolitisasi terutama saat pemilu. Membiarkan masyarakat terjebak dalam kebodohan, selain menyebabkan negara makin lemah, juga menyebabkan sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin rusak.

Al-Quran menjelaskan dalam Surat An-Nisa’ (9): "Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya)."

ALARM ALAM

Alarm keberlanjutan sudah sangat jelas dan harus dijadikan rambu-rambu serta perhatian bagi manusia. Manusia diingatkan untuk menjadi makhluk yang bersyukur, berpikir agar tidak larut dalam kebodohan dan kemiskinan, serta tidak melampaui batas sebagai standar etika menjaga lingkungan.

Bersyukur karena kita ada di negara kaya sumber daya alam, kaya biodiversity, dan kaya sociodiversity. Namun, kekayaan juga dapat melahirkan kesombongan, menimbulkan kemungkaran. Sombong karena merasa kaya dapat melahirkan kemalasan, dan mungkar dapat melahirkan kerusakan. Pesan agar menjadi orang berpikir juga dijelaskan secara tegas. Negara kaya dengan masyarakat yang bodoh dan miskin bisa berisiko terhadap keberlanjutan bangsa.

Potensi bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi. Berpikir menetapkan nilai batas yang kemampuan alam yang diterjemahkan sebagai daya dukung. Dengan proses begini kita kemudian tidak akan memproduksi nikel, timah, pasir laut dalam jumlah yang melampaui batas. Memproduksi dalam batas untuk pemenuhan kebutuhan kita, bukan orang lain. Memproduksi sumber daya alam kita untuk orang lain, sama seperti menabur garam ke laut, yang tidak akan berdampak terhadap kita sendiri.

Mundur, duduk, dan menadaburi apa yang diberikan Tuhan dan menghitung yang akan digunakan lebih baik daripada terus maju mengeksploitasi sumber daya tersebut yang tidak terlihat titik ujungnya. Mengatur kembali tempo waktu eksploitasi lebih baik daripada sekadar mengejar pertumbuhan semata tanpa etika yang baik terhadap lingkungan.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |