
INDUSTRI keramik nasional tengah melaju agresif memasuki fase ekspansi besar dengan nilai investasi mencapai Rp9 triliun hingga 2027. Namun, rencana ekspansi industri keramik Indonesia tersebut menghadapi tantangan serius berupa krisis pasokan gas yang mengancam kelangsungan pertumbuhan sektor ini.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, menyatakan bahwa industri keramik saat ini berbeda dengan banyak sektor manufaktur lain yang justru tengah bertahan di tengah ketidakpastian global. Menurutnya, dukungan kebijakan pemerintah menjadi pendorong utama optimisme di kalangan pelaku usaha.
“Sekarang ini kita sedang masuk tahap ekspansi sesungguhnya. Kita beda dengan industri lain yang saat ini sedang bertahan. Tahun lalu kami didukung kebijakan anti-dumping, safeguard, dan SNI wajib. Itu semua efektif,” ujarnya dalam pameran Arch Id di BSD, Tangerang Selatan, Rabu (8/5).
Asaki mencatat bahwa kapasitas terpasang industri keramik nasional pada akhir 2024 telah mencapai 625 juta meter persegi per tahun. Angka ini ditargetkan meningkat menjadi 720 juta meter persegi di tahun 2027, dan menyentuh 850 juta meter persegi pada 2030.
Menurut proyeksi, lanjut Edy, peningkatan kapasitas ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 308 juta jiwa. Sementara konsumsi keramik per kapita nasional masih berada di angka 2,8 meter persegi, lebih rendah dari Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai 3 hingga 3,5 meter persegi per orang.
“Kalau kita lihat dari sisi pasar, ini masih sangat besar potensinya. Ruang tumbuhnya masih lebar,” kata Edy.
Optimisme industri keramik Indonesia juga didukung oleh program pembangunan 3 juta unit rumah serta kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mendorong penggunaan produk lokal. Menurut Asaki, kebijakan TKDN menciptakan pasar baru bagi produsen dalam negeri.
Namun demikian, rencana ekspansi tersebut terancam oleh krisis energi, terutama keterbatasan pasokan gas bumi untuk industri. Berdasarkan data Asaki, kebutuhan gas industri keramik nasional saat ini mencapai sekitar 130 BBTUD, dengan tambahan 27 hingga 30 BBTUD untuk mendukung ekspansi tahap kedua. Total kebutuhan diperkirakan mencapai 160 BBTUD per tahun.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pasokan gas dari PGN belum memenuhi kebutuhan tersebut. Di wilayah seperti Jawa Barat, pelaku industri hanya mendapatkan 60% pasokan dari total kebutuhan. Sisanya harus dipenuhi menggunakan gas hasil regasifikasi dengan harga mencapai US$16,77 per MMBTU atau lebih dari dua kali lipat harga gas HGBT sebesar US$7.
“Ini yang menurunkan daya saing kami. Harga gas regasifikasi sangat membebani. Bayangkan, dari US$7 melonjak jadi hampir US$17,” tegas Ketua Asaki.
Ia menyayangkan pernyataan dari pihak PGN yang menyebut bahwa Indonesia tengah mengalami defisit gas, sementara di sisi lain Menteri ESDM menyatakan bahwa pasokan gas untuk industri masih memadai.
“Ada simpang siur. Makanya kami minta pemerintah hadir. Harus ada kejelasan,” katanya. “Kebutuhan kami jelas tercantum dalam capman. Tinggal dipenuhi saja.”
Saat ini, industri keramik nasional telah menyerap lebih dari 150 ribu tenaga kerja di subsektor ubin, sanitari, genteng, dan tableware. Dengan karakteristik sebagai industri padat modal, padat karya, dan padat energi, pasokan gas yang stabil menjadi syarat mutlak bagi keberlanjutan sektor ini.
“Asaki siap mendukung program substitusi impor. Rata-rata TKDN produk kami sudah di atas 70%, bahkan ada yang mencapai lebih dari 90%. Ini saatnya kita take off. Jangan biarkan gagal lepas landas karena krisis gas,” pungkasnya. (Z-10)