IKATAN Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang baru mencapai 10,07% pada 2024. Padahal, idealnya tax ratio berada di angka 15%.
Ketua Umum IKP Vaudy Starworld menyebut, kompleksnya tantangan yang dihadapi Indonesia menjadi penyebab sulitnya meningkatkan rasio pajak di Tanah Air. Salah satunya adalah kepastian hukum. Hal itu disampaikannya dalam diskusi panel yang digelar IKPI bertema Membedah Stagnansi Tax Ratio Indonesia Masalah Struktural, Teknis, Atau Ekonomi? di Jakarta.
Vaudy mencontohkan, saat ini belum ada revisi Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. PP ini mengatur tentang skema pajak bagi wajib pajak UMKM.
"Revisi PP ini sangat ditunggu. Karena banyak rekan UMKM yang sampai hari ini masih ragu dan bertanya-tanya saat hendak membayar pajaknya. 'Kami harus pakai yang mana?' Itu contoh kecilnya," ungkap Vaudy, Senin (19/5).
Menurutnya, regulasi yang tidak pasti ini membuat wajib pajak ragu-ragu dalam membayar pajak. Walhasil, penerimaan pajak pun terganggu. Ketidakpastian regulasi seperti ini pun akhirnya akan mengganggu investasi.
"Karena investasi juga adalah salah satu pengerek ekonomi di samping konsumsi. Saat ini ekonomi kita masih sangat bergantung pada konsumsi. Harusnya bisa bergeser agar investasi yang paling besar. Tapi ini masih belum bisa dilakukan karena itu tadi, banyak hal yang membuat iklim investasi belum baik. Salah satunya soal kepastian hukum. Akibatnya? Tax ratio kita sulit naik," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) IKPI, Suwardi Hasan, juga menyoroti mengenai kehambatan investasi sebagai salah satu penyebab rendahnya tax ratio.
“Kalau kita bicara investasi, kita harus jujur melihat realitas di lapangan. Belakangan ini kita dengar banyak keluhan dari asosiasi kawasan industri di Karawang, yang menyatakan bahwa potensi investasi triliunan rupiah batal masuk karena adanya gangguan kepastian hukum,” kata Suwardi.
Ia mengungkapkan bahwa praktik ormas yang meminta jatah proyek dari investor menjadi momok yang menakutkan bagi dunia usaha.
“Setiap ada pabrik baru yang mau dibangun, muncul permintaan dari ormas untuk dilibatkan dalam proyek, bukan dalam konteks kemitraan yang sehat, tetapi lebih seperti pemalakan. Ini menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif. Bagaimana kita mau dorong tax ratio kalau investasi saja terhambat?” lanjutnya.
Suwardi menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang juga oleh meningkatnya investasi selain konsumsi, sementara investasi justru melemah akibat ketidakpastian hukum dan gangguan kamtibmas.
“Kalau investasi meningkat, akan tercipta lapangan kerja baru. Mereka yang di-PHK bisa kembali bekerja, dan ini otomatis memperluas basis pajak. Dengan begitu, tax ratio juga bisa terdorong naik kembali, seperti harapan Presiden Prabowo yang menargetkan tax ratio di kisaran 12% dalam beberapa tahun ke depan,” ujarnya.
Selain membedah masalah struktural, Suwardi juga menyoroti peran penting konsultan pajak dalam sistem perpajakan Indonesia yang menganut mekanisme self-assessment. “Konsultan pajak itu perannya sebagai intermediary antara wajib pajak dan negara. Karena sistem kita tidak sederhana, peran kami membantu untuk meningkatkan kepatuhan WP. Kami di IKPI aktif melakukan sosialisasi dan edukasi, baik untuk UMKM, dunia usaha, maupun WP Orang Pribadi,” terang Suwardi.
Ia juga menekankan pentingnya mengubah paradigma masyarakat mengenai kewajiban membayar pajak.
“Kami mendorong pergeseran cara pandang dari kewajiban menjadi hak. Membayar pajak adalah hak untuk berkontribusi kepada negara, hak untuk membela bangsa dalam pembangunan dari sisi fiskal. Ini bukan sekadar beban, tapi bentuk partisipasi warga negara,” ujarnya. (E-4)