Dorongan FCTC di Indonesia Dikhawatirkan Mengancam Nasib Pekerja Tembakau

2 days ago 5
Dorongan FCTC di Indonesia Dikhawatirkan Mengancam Nasib Pekerja Tembakau : Petani memanen tembakau di Cikoneng, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (16/2/2025).(ANTARA/RAISAN AL FARISI )

DORONGAN advokasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui rancangan peraturan yang eksesif, seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), menimbulkan kekhawatiran pelaku di industri tembakau, mulai dari petani, pekerja, dan pihak terkait yang menilai langkah tersebut berdampak negatif terhadap keberlangsungan para pekerja di industri tembakau.

FCTC yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berusaha menekan konsumsi tembakau di dunia dengan serangkaian aturan ketat, termasuk penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging). Namun, bagi banyak pihak, aturan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia, di mana tembakau merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Larangan atau pembatasan ketat pada industri tembakau berdampak pada melemahnya ekonomi daerah yang bergantung pada hasil tembakau

Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Muhammad Sirod mengatakan bahwa kebijakan penyeragaman kemasan rokok bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi industri tembakau dalam negeri. 

"Industri tembakau ini dari hulu ke hilirnya bagus. Devisa untuk negara juga mencapai ratusan triliun. Bisa dikatakan tembakau ini adalah anak bungsu yang sering disorot, namun sebenarnya banyak manfaatnya," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (11/3) 

Menurutnya, penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang diusulkan dalam Rancangan Permenkes juga akan mematikan banyak industri terkait, salah satunya industri percetakan kemasan. Jika industri kemasan hilang, maka akan terjadi pengurangan lapangan kerja yang akan mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan.

Saat ini, Indonesia tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan. Salah satu contoh terbaru adalah PHK massal di industri tekstil, di mana Sritex, yang mengalami kebangkrutan, terpaksa memberhentikan lebih dari 10.000 karyawan.

Selain itu, Sirod juga menegaskan bahwa tidak semua tekanan global dalam konteks rokok harus ditaati oleh Indonesia. Menurutnya, ada motif ekonomi besar di balik dorongan ratifikasi FCTC oleh negara-negara yang tidak memiliki industri tembakau. "Negara-negara yang mendukung FCTC memiliki kepentingan besar terhadap pasar rokok global, dan ini dapat merugikan negara-negara penghasil tembakau seperti Indonesia," tegasnya.  

Di lain pihak; Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnadi Mudi menilai bahwa dorongan ratifikasi FCTC sangat tidak sesuai dengan kondisi ekosistem tembakau di Indonesia. Ia menegaskan, industri tembakau di Indonesia telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

"Kami dengan tegas menolak intervensi asing yang bermaksud mengacak-acak keberlangsungan pertanian tembakau. Tembakau di Indonesia mejadi sumber penghidupan bagi enam juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini," ujarnya.  

Mudi juga mengungkapkan bahwa industri tembakau Indonesia telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemasukan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT), yang menyumbang sekitar 96-97% dari total penerimaan negara dari sektor bea dan cukai. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja mulai dari petani, manufaktur, hingga distributor.  

Menurutnya, larangan atau pembatasan yang terlalu ketat pada industri ini akan berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan dan melemahnya ekonomi daerah yang bergantung pada hasil tembakau, khususnya di musim kemarau. 

"Tembakau adalah satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di musim kemarau dan menjadi sumber penghidupan utama bagi jutaan petani di berbagai daerah," kata Mudi.

Ia juga menyoroti bahwa keberadaan industri hasil tembakau telah memberikan manfaat luas bagi masyarakat, termasuk sektor informal seperti buruh pabrik, pengrajin kemasan, hingga pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya pada distribusi produk tembakau. "Jika aturan ini diterapkan, dampaknya akan sangat luas, bukan hanya bagi petani, tetapi juga bagi buruh, pekerja di industri percetakan, dan sektor-sektor lainnya," imbuhnya. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |