
DIREKTUR Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan, seharusnya koperasi, khususnya Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih, muncul dari permintaan masyarakat yang menginginkan kehadiran koperasi.
"Saya rasa pembangunan koperasi harusnya memang bottom-up, bukan top-down. Harusnya pendirian koperasi timbul dari permintaan masyarakat yang menginginkan jasa dari koperasi," terangnya, Senin (22/7)
"Masalahnya, kopdes ini seperti dipaksakan sebagai puzzle kebijakan yang menurut saya tidak disertai dengan dorongan dari bawah. Jadi terkesan pendirian koperasi tidak berasal dari anggota. Padahal esensi koperasi adalah hadirnya peran aktif anggota," imbuhnya.
Huda menyampaikan isu Kopdes/Kel Merah Putih ini menimbulkan pertanyaan publik, bagaimana implementasi dan juga mitigasi risiko yang akan dihadapi. Ia menilai konsep Kopdes/Kel Merah Putih masih sangat mentah meski saat ini sudah ada 80 ribu kopdes yang berdiri, berdasarkan data pemerintah.
"Sampai saat ini, saya tidak mendengar bagaimana operasional koperasi ini berjalan seperti model bisnis. Ada potensi risiko gagal bayar yang cukup tinggi jika operasional sampai saat ini tidak ada kejelasan. Padahal modal awal yang dapat diajukan kopdes ini ke perbankan mencapai Rp3 miliar per koperasi. Jika kita jumlahkan dengan angka 80 ribu, ada Rp240 triliun keluar dari perbankan dengan risiko yang tinggi," bebernya.
Selain itu, Huda memprediksi bakal adanya opportunity cost yang dialami perbankan karena menyalurkan pembiayaan ke Kopdes/Kel Merah Putih yang mencapai Rp76,51 triliun secara akumulatif dalam 6 tahun masa pinjaman.
"Perbankan, yang seharusnya bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi, menjadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan profit. Hal ini dapat memengaruhi pendapatan perbankan secara umum dan operasional Danantara secara khusus. Saat ini, dividen paling besar disumbang oleh sektor perbankan," cetusnya.
Selain itu, ia menyampaikan potensi risiko gagal bayar Kopdes/Kel Merah Putih selama 6 tahun masa pinjaman sebesar Rp85,96 triliun. Dan risiko tersebut ditanggung oleh Pemerintah Desa, sekitar 20% dari total dana desa selama enam tahun.
"Dana desa tidak boleh dijadikan jaminan program yang payung hukumnya pun tidak ada. Kebutuhan setiap desa itu berbeda, karakteristik ekonominya pun berbeda, tidak bisa disamakan kepentingan antara desa yang satu dengan desa lainnya. Jika disamakan, tujuan dari UU Desa akan terganggu. Prabowo yang mencatatkan tinta hitam pembangunan desa," tegas dia.
Huda juga mengkhawatirkan terjadinya kanibalisme antarusaha yang dimiliki desa. Pasalnya, hadirnya Kopdes/Kel Merah Putih bisa mengganggu lini bisnis Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang selama ini sudah ada di desa-desa.
Terakhir, ia menyampaikan akan ada potensi kerugian perekonomian negara sebesar Rp9,85 triliun dari operasional Kopdes/Kel Merah Putih selama 6 tahun masa peminjaman.
"Kerugian ini ditimbulkan dari dana desa yang menjadi jaminan pengembalian dana perbankan yang dipinjam oleh Kopdes/Kel Merah Putih. Selain itu, potensi penyerapan tenaga kerja yang hilang mencapai 824 ribu lapangan pekerjaan. Ketika hal itu terjadi, situasinya lebih parah dari Koperasi Unit Desa (KUD) yang sudah punah," tandasnya. (Fal/E-1)