
TEKANAN ekonomi dunia akan memperburuk situasi perekonomian Indonesia. Terlebih keadaan ekonomi domestik juga tidak berada dalam kondisi yang dapat dikatakan baik-baik saja.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri dalam webinar bertajuk IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?, Senin (28/4).
"Domestic situation kita tidak terlalu baik-baik amat, ada masalah fiskal, monetary and external balance issues, real sector, dan ketenagakerjaan kita, ditambah arah kebijakan yang tidak terlalu menjanjikan," ujarnya.
Tren aliran modal asing keluar disebutnya telah terjadi sejak awal 2025. Itu disebabkan oleh rendahnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Hal itu dapat dilihat dari kian melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Padahal indeks dolar AS (DXY) tengah mengalami pelemahan.
Situasi itu, imbuh Yose, menandakan perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Sebab, umumnya ketika DXY melemah, mata uang lain terhadap dolar AS menguat, namun yang terjadi pada rupiah justru sebaliknya.
"Ini mengkhawatirkan, artinya kita dalam kondisi yang lebih buruk dari kondisi dunia. Itu slah satu indikator yang perlu kita highlight," tutur dia.
Perekonomian nasional yang mengkhawatirkan juga didorong oleh kondisi sektor riil di dalam negeri yang sampai saat ini cenderung memiliki biaya tinggi. Selain dipengaruhi maraknya praktik korupsi di Indonesia, aspek ketidakpastian hukum juga menjadi salah satu sebab ekonomi di Tanah Air berbiaya tinggi.
Dari catatan CSIS, peraturan di tingkat menteri bahkan jumlahnya mencapai 19 ribu. Demikian halnya dengan peraturan di pemerintah daerah yang jumlahnya di kisaran 19 ribu. Parahnya lagi, aturan-aturan yang banyak itu kerap tumpang-tindih dan saling meniadakan satu dengan yang lainnya.
"Ini tidak ada yang tahu isinya apa, sering overlap, meniadakan satu dan lainnya, menyebabkan ketidakpastian lebih tinggi lagi," kata Yose.
Sebab lain ekonomi Indonesia berbiaya tinggi ialah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memiliki kecenderungan inward looking (mengutamakan kepentingan dalam negeri). Padahal upaya untuk menumbuhkan perekonomian dibutuhkan pendekatan yang mengedepankan kerja sama dengan negara lain.
Tiongkok, misalnya, yang memiliki kapasitas ekonomi 10 kali lipat lebih besar dari Indonesia masih menerapkan pendekatan terbuka dalam menumbuhkan perekonomiannya. Itu menurut Yose berbanding terbalik dengan Indonesia.
Ubah paradigma kebijakan
Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), misalnya, kendati berhasil mendorong pertumbuhan industri di dalam negeri, dampaknya tak signifikan terhadap kondisi industri secara umum. Alih-alih mendatangkan banyak kerja sama dan investasi, kebijakan tersebut dinilai membuat calon penanam modal berpikir dua kali berinvestasi di Indonesia.
"Begitu juga hilirisasi, salah satu isu yang ada, sempat muncul adalah bagaimana LG keluar dari investasi baterai yang mau dijalankan yang sekitar US$10 miliar. Salah satu alasannya karena Indonesia menginginkan semua supply chain itu berada di Indonesia, padahal supply chain itu dari mining sampai manufaktur itu cukup panjang sekali," terang Yose.
"Banyak sekali tingkatannya dan kita maunya semua ada di Indonesia, akhirnya kita tidak dapat apa-apa. Supply chain itu konsep global, internasional, ada beberapa posisi yang kita cukup baik, tapi ada tingkatan manufaktur yang harus disupplai dari luar negeri, kerja sama, karena kita tidak punya semuanya," lanjutnya.
Karenanya, menurut Yose, perlu bagi Indonesia untuk beradaptasi dan memperbaiki paradigma pembangunan ekonomi nasional. Dengan begitu, besar kemungkinan Indonesia dapat meraih peluang dari situasi krisis global. Japan External Trade Organization (Jetro), misalnya, telah mengeluarkan data yang seharusnya dapat membuka pandangan pemerintah perihal paradigma pembangunan ekonomi.
Jetro diketahui merilis data ihwal relokasi pabrik imbas perubahan dinamika ekonomi global. ASEAN menjadi salah satu tujuan relokasi tersebut.
Namun Indonesia merupakan pilihan terakhir jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tercatat hanya akan ada 16 relokasi perusahaan dari total 463 perusahaan yang dinilai akan melakukan relokasi.
Sementara 90 perusahaan berencana relokasi ke Vietnam, 25 perusahaan ke Thailand, dan 19 perusahaan relokasi ke Malaysia. "Ini kita harusnya bisa lebih baik lagi. Kita harus mengubah kebijakan yang masih inward looking. Ini berpengaruh bukan hanya pada pembangunan industri, tapi juga kepada labour market di Indonesia," jelas Yose. (Mir/E-1)