
26 April diperingati sebagai Hari Kekayaan Intelektual Sedunia. Dan untuk tahun ini, tema yang diusung adalah IP and Music: Feel the Beat of IP. Sebuah perayaan yang idealnya menjadi panggung untuk membela para musisi—pencipta keajaiban di balik lagu-lagu yang kita nikmati setiap hari. Namun, timbul pertanyaan: di tengah kemewahan teknologi dan gemerlap platform digital, apakah para pencipta ini benar-benar mendapat keadilan?
Baca juga: Puluhan Musisi Gugat UU Hak Cipta di MK, Persoalkan Hak Royalti
Mari sejenak kita tengok sejarah. Dahulu, musisi menjual album fisik—piringan hitam (vinyl), kaset, CD. Setiap karya terjual adalah dukungan nyata. Satu album dibeli, satu langkah penghidupan bagi sang seniman. Musik saat itu punya harga, bukan hanya sekadar akses.
Baca juga: Muse Milik Jimin BTS Jadi Album K-Pop Terfavorit 20-24 Versi Billboard
Bagaimana dengan kondisi hari ini? Musik mengalir bebas dan deras di Spotify, Apple Music, YouTube, TikTok. Lagu bisa diputar miliaran kali, viral dalam hitungan jam. Meski begitu, jangan salah kira: angka pemutaran itu tidak sebanding dengan uang yang masuk ke kantong musisi. Faktanya, untuk menghasilkan sekitar US$3.000 dari Spotify, sebuah lagu harus diputar lebih dari satu juta kali. Satu juta itu angka yang terdengar terlalu megah untuk artis pemula, berapa dari mereka yang mampu meraih angka selangit itu.
Baca juga: Ini 10 Talenta Lokal Radar Indonesia 2025 di Spotify
Musisi besar yang sudah mapan mungkin masih bisa tersenyum santai. Mereka sudah mengamankan hak, warisan, dan kekayaan dari masa emas penjualan album. Bagaimana dengan musisi pemula dan independen? Mereka tidak hanya berjuang untuk didengar, tapi juga berjuang untuk bertahan hidup.
Baca juga: Fikri Sya Rilis Single Perdana Bunga Cempaka
Memiskinkan pencipta
Realitasnya, dunia streaming adalah arena pertarungan brutal: visibilitas tinggi, pendapatan rendah. Musisi didorong menciptakan konten tanpa henti, berlomba dalam algoritma tanpa ada jaminan bahwa karya mereka akan dihargai dengan layak. Teknologi menjanjikan eksposur, tapi diam-diam memiskinkan pencipta.
Baca juga: WAMI Distribusikan Royalti Rp96 Miliar untuk Para Pemilik Hak Cipta Lagu
Ironis. Musik kini menjadi produk konsumsi cepat saji: gratis, instan, dan sering kali dianggap ‘hak publik’. Padahal di balik setiap lagu, ada air mata, malam tanpa tidur, tabungan yang dikorbankan, dan harapan yang dipertaruhkan.
Setidaknya terdapat tawaran empat formula untuk mengatasi kondisi timpang ini. Pertama, mendorong edukasi tentang pentingnya hak kekayaan intelektual di kalangan musisi muda. Mereka harus melek hukum, bukan hanya mahir mencipta lagu.
Kedua, mendesak transparansi lebih besar dari platform streaming. Jangan biarkan para raksasa teknologi terus bersembunyi di balik algoritma yang tak terbaca.
Ketiga, menciptakan sistem royalti yang adil dan memastikan kreativitas dibayar dengan layak, bukan janji kosong.
Terakhir, sebagai pendengar berhenti merasa entitled. Hargai musisi dengan mendukung karya mereka secara nyata seperti beli tiket konser resmi, merchandise orisinal, dan sebarkan karya mereka dengan penuh hormat.
Menari di atas luka
Karena pada akhirnya, teknologi hanya alat. Pilihan ada di tangan kita apakah mau membangun ekosistem musik yang adil atau terus menari di atas luka para pencipta?
Hari Kekayaan Intelektual Sedunia seharusnya bukan hanya seremoni. Ini adalah alarm keras bahwa kita harus bertindak. Di tengah dentuman irama yang semakin canggih berkat teknologi, jangan sampai kita melupakan satu nada penting yaitu keadilan bagi para pencipta music. Karena tanpa mereka, dunia akan kehilangan denyut kreatifnya.